Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang No. 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatra Utara (UU Samosir), Rabu (13/2), dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Perkara Nomor 4/PUU-VI/2008 ini diajukan oleh O.K. Dirhamsyah Tousa sebagai kuasa hukum yang bertindak untuk dan atas nama Garang Damanik dkk. sebagai anggota Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur wilayah Serdang Hulu. Dalam perkara ini, para Pemohon mengajukan permohonan baik formil maupun materiil dari UU a quo dengan menganggap keberadaan UU No. 36 Tahun 2003 telah merugikan hak konstitusional mereka karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Pasal 18 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 I ayat (4), Pasal 32 ayat (1) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, secara formil proses pembentukan UU a quo cacat hukum dengan tidak memperhatikan aspirasi masyarakat. Para Pemohon berpendapat bahwa dalam proses pemekaran wilayah Kabupaten Deli Serdang menjadi Kabupaten Deli Serdang (inti) dan Kabupaten Serdang Bedagai, aspirasi masyarakat menginginkan adanya 10 kecamatan tanpa memasukkan Kecamatan Kotarih dan Kecamatan Galang (sebagian) dan Kecamatan Bangun Purba (sebagian). Akan tetapi DPRD Sumatra Utara mengeluarkan Surat Keputusan bernomor No. 26/K/DPRD/2003 yang antara lain berisi ketstapan untuk memasukkan ketiga Kecamatan di atas. Hal ini menurut Pemohon dianggap sebagai tindakan yang sewenang-wenang dan menunjukkan adanya arogansi Pemerintah.
Selain itu, secara materiil khususnya pada Pasal 4 huruf k, l, m dan Pasal 6 ayat (2d) serta lampiran II UU No. 36 Tahun 2003 juga telah mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon di berbagai segi. Secara ekonomi, menurut para Pemohon, mereka harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencapai ibukota Kabupaten Serdang Bedagai daripada ketika masih dalam Kabupaten Deli Serdang. âBahkan ironisnya untuk ke Sri Rampah (Ibukota Serdang Bedagai red.) harus ke lubuk pakam (Ibukota Kabupaten Deli Serdang red.) duluâ ujar Dirhamsyah.
Selain itu juga para Pemohon merasa dirugikan dari segi pendidikan karena lulusan Sekolah Dasar dari daerah harus bersaing dengan siswa dari Kabupaten Serdang Bedagai untuk dapat belajar di sekolah bermutu baik yang sangat sedikit jumlahnya.
Dalam Petitumnya para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi untuk menyatakan proses pembentukan UU a quo dan juga secara materiil Pasal 4 huruf k, l, m dan Pasal 6 ayat (2d) serta lampiran II UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Setelah mendengarkan keterangan para Pemohon, Majelis Panel Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H M.H. memberikan beberapa saran berkaitan dengan Permohonan tersebut. Pertama yang harus dijelaskan lebih lanjut oleh para Pemohon pada persidangan selanjutnya adalah masalah legal standing. Para Pemohon harus menjelaskan apakah mereka merupakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atau kelompok perorangan karena hak konstitusional perorangan berbeda dengan Hak Konstitusional Kesatuan Hukum Adat. âApakah Kesatuan Hukum Adat memiliki hak atas pendidikan? Misalnyaâ jelas Palguna.
Lebih lanjut, Palguna menjelaskan bahwa hak konstitusional adalah hak yang terdapat dalam UUD 1945. Sedangkan alasan Pemohon berkenaan dengan jarak ke Ibukota Kabupaten Serdang Bedagai dianggap bukan salah satu hak konstitusional oleh Hakim termuda di MK ini. âContohnya pada pemekaran kota Singkawang, kerugian masyarakat dari segi jarak tidak dapat dijadikan alasan karena meskipun daerah itu lebih dekat ke Sabah akan tetapi menjadi bagian dari Kalimantan Barat.â jelasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM. berpendapat bahwa UUD 1945 tidak mengenal kata-kata Persekutuan Masyarakat Adat seperti yang disebutkan Pemohon dalam permohonannya. Oleh karena itu para Pemohon dapat dianggap sebagai kelompok perseorangan bukan Kesatuan Hukum Adat.
Untuk mengatasi permasalahan dalam penggunaan istilah hukum dan pengertiannya, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, S.H. menyarankan agar para Pemohon didampingi oleh kuasa hukum. âSebaiknya saudara berusaha untuk didampingi pengacara, terutama yang mengerti hukum tatanegara karena tidak semua pengacara mengerti hukum tata negara,â sarannya.
Dalam persidangan kedua yang akan diselenggarakan 14 hari kemudian, Majelis Hakim Konstitusi berharap permohonan tersebut telah diperbaiki. (Yogi Djatnika)