Permohonan uji materiil terkait ketentuan mantan narapidana mengajukan diri sebagai calon kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) tidak dapat diterima Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut karena Mahkamah menilai Ketua DPRD Kabupaten Indragiri Hilir Dani Muhammad Nursalam Bin Abdul Hakim Side yang menjadi Pemohon perkara tersebut tidak mampu menguraikan secara jelas kerugian konstitusionalnya akibat berlakunya norma a quo.
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 7 ayat (2) huruf g dan h UU Pilkada. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut merugikan dirinya karena melarang pelaku tindak pidana terkait kasus narkotika dan kejahatan seksual terhadap anak untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Pemohon berniat mengajukan diri sebagai calon bupati pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2018, namun terhalang karena pernah dijatuhi putusan pidana selama 3 bulan penjara pada 2010 dalam kasus perjudian. Untuk itulah, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan Pasal 7 ayat (2) huruf g dan huruf h UU Pilkada. Dalam petitumnya, Pemohon juga meminta agar Pemohon diberikan hak politiknya untuk mendaftarkan diri sebagai calo bupati dan dapat diterima oleh KPU Kabupaten Indra Giri Hilir.
Menanggapi permohonan tersebut, dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 90/PUU-XV/2017, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak jelas menguraikan apakah Pemohon akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah. "Sehingga Mahkamah tidak menemukan relevansi Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Undang-Undang a quo. Dengan demikian uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya menjadi kabur," urai Manahan Sitompul.
Selain itu, Manahan menyebutkan hal yang dimohon oleh Pemohon dalam rumusan petitumnya juga tidak sesuai dengan format petitum yang berkenaan dengan pengujian norma undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Padahal dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan Mahkamah, sesuai dengan Pasal 39 UU MK, telah memberi nasihat supaya Pemohon memperbaiki permohonannya, khususnya berkaitan dengan kesesuaian antara posita dengan petitum permohonan Pemohon. Namun, lanjutnya, setelah diberi waktu untuk memperbaiki permohonan sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) UU MK, ternyata Pemohon tidak melakukan perbaikan sebagaimana dinasihatkan Mahkamah. Oleh karena itu, permohonan Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur libel). "Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, oleh karena permohonan Pemohon kabur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut," tandas Manahan. (Lulu Anjarsari)