Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyelenggarakan sidang pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) di Ruang Sidang Panel Gedung MK, Kamis (14/02).
Dalam sidang beragenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan ini Muhammad Hafidz dan M. Komarudin memaparkan kewenangan MK memproses perkara ini dan Legal Standing mereka sebagai Pemohon. âDalam perkara ini, kami adalah kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama di dalam sebuah serikat buruh Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (F.ISBI) yang telah dijamin dalam bingkai Konstitusi pada Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945â, jelas Muhammad Hafidz mengenai Legal Standing-nya.
Ia pun menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 29, Pasal 55 Ayat (1), Pasal 59 Ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan ini menyebabkan kerugian konstitusional pada kaum buruh. Pemberlakuan UU Kepailitan ini akan sangat berpotensi menghilangkan hak-hak buruh yang diputuskan hubungan kerjanya karena perusahaan tempat bekerjanya pailit, yakni dengan adanya pasal 29 yang menggugurkan segala tuntutan yang sedang berjalan ketika perusahaan sedang mengalami kepailitan dan dengan adanya Pasal 55 Ayat (1), Pasal 59 Ayat (1), dan Pasal 138 yang mengatur keberadaan kreditor separatis sebagai pemegang kewenangan mutlak untuk mengeksekusi haknya atas perusahaan pailit. âDengan adanya pihak kreditor separatis, hak-hak buruh atas upah dan pesangon tidak dapat terpenuhi karena buruh hanya menjadi kreditor preferenâ, lanjut Hafidz.
Karena itulah, para Pemohon selaku pengurus DPP F.ISBI memohon Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonannya sehingga kerugian konstitusional kaum buruh atas perusahaan pailit tidak lagi terjadi seiring dengan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang dapat menetapkan bahwa kedudukan kaum buruh tidak lagi di bawah kreditor separatis.
Sidang ini diakhiri dengan pengesahan barang-barang bukti oleh Majelis Panel Hakim. (Kencana Suluh Hikmah)