Pensiunan pegawai negeri sipil Abas Tasimin bersama dua Pemohon lainnya mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Sidang perdana perkara Nomor 19/PUU-XVI/2018 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (14/3) siang.
Pemohon mempersoalkan Pasal 6 ayat (1) UU PBB mengenai dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak dan Pasal 6 ayat (2) UU a quo mengenai besarnya nilai jual objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap 3 tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
“Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2014 yang bervariasi dari 57,7% sampai 350% sesuai data yang disajikan tersebut, (II) telah mengganggu kehidupan lahir batin Pemohon karena merasa berat untuk membayar tagihan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2014. Oleh karena itu, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2014 tersebut bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” kata Abas Tasimin.
Sebagai bukti keresahan akibat kenaikan pajak, ungkap Abas, masyarakat lingkungan Kelurahan Cempaka Putih Timur, Kecamatan Cempaka Putih telah mengirim Surat No. 008/RW01 - 08/Pajak/VIII/2014 tanggal 21 Agustus 2014 kepada Gubernur dan Ketua DPRD DKI Jakarta. Pemohon menilai keputusan menaikkan tarif pajak, kemudian bangunan tahun 2014 untuk bumi dan bangunan yang tidak dijual oleh pemiliknya atas dasar perkiraan nilai jual objek pajak bertentangan dengan pertimbangan huruf a dan huruf b UU PBB karena tidak sesuai dengan kemampuan pemilik. Kemampuan pemilik hanya pada saat nilai perolehan awal objek pajak dan pemilik pada 2014, pun pemilik tidak menerima manfaat dan kenikmatan berupa uang yang sebagian bisa diserahkan kepada negara sebagai Pajak Bumi dan Bangunan.
Abas pun menuturkan Forum Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) Kelurahan Cempaka Putih Timur, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat mengirim Surat No. 005/RT RW CPT/12/2016 kepada Soni Soemarsono selaku Plt. Gubernur DKI Jakarta pada 2016. Surat tersebut berisi permohonan penurunan tarif PBB tahun 2014, 2015, 2016 yang besarnya 3 kali lipat besarnya PBB tahun 2013.
“Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Pemohon terdapat kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan demikian, Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” urai Abas.
Ubah Kedudukan Hukum
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams selaku Ketua Panel menyoroti kedudukan hukum Pemohon, disebutkan permohonan bertindak perorangan. “Ternyata bukan mewakili kelompok orang yang disebut Forum RT dan RW Masyarakat Lingkungan Kelurahan Cempaka Putih Timur, Kecamatan Cempaka Putih,” kata Wahiduddin.
Kemudian Wahiduddin mencermati sistematika Permohonan yang belum tersusun dengan baik. “Sebetulnya bisa dilihat saja nanti format penulisan permohonan di website Mahkamah Konstitusi ya Pak. Selain itu dalil Pemohon yang mengaitkan pembayaran pajak dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin, itu nanti coba dielaborasi,” ucap Wahiduddin.
Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyoroti pokok permohonan Pemohon mengenai penghitungan pajak. Menurutnya, hal tersebut bukanlah terkait masalah konstitusionalitas norma. “Berarti cara penghitungan itu yang Bapak persoalkan? Kalau cara penghitungannya itu yang dipersoalkan, maka persoalannya ini menjadi persoalan penerapan undang-undang. Karena hak negara untuk memungut pajak tetap ada, hanya saja cara berhitungnya kenapa begini? Jadi, persoalannya adalah bukan soal pertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Palguna.
Untuk itu, Palguna meminta agar Pemohon lebih menguraikan kerugian konstitusional terkait keberlakuan pasal yang diujikan. “Kalau Bapak tetap bertahan pada anggapan bahwa pengaturan norma yang demikian itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, harus ada uraian yang lebih banyak dari ini, Pak. Mengapa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945? Nah, itu tidak cukup hanya sumir seperti ini, enggak cukup,” tandas Palguna. (Nano Tresna Arfana/LA)