Meski belum ditandatangani secara resmi oleh Presiden Joko Widodo, sejumlah pihak ramai-ramai mengajukan uji materiil UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang yang digelar MK pada Kamis (8/3), Panel Hakim MK memeriksa permohonan pendahuluan untuk tiga perkara uji materiil UU tersebut. Permohonan tersebut diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) dan Pemohon perseorangan (Nomor 16/PUU-XVI/2018); Partai Solidaritas Indonesia (PSI) (Nomor 17/PUU-XVI/2018); serta dua Pemohon perseorangan, yakni Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Josua Satria Collins (Nomor 18/PUU-XVI/2018).
Pemohon menguji Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, serta Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Aturan yang dipersoalkan Pemohon, yakni mengenai pemanggilan paksa oleh DPR terhadap warga masyarakat dan badan hukum yang berbasis organisasi kemasyarakatan. Dalam permohonan Nomor 16/PUU-XVI/2018, Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut merupakan bentuk upaya menghadap-hadapkan institusi DPR dengan warga masyarakat selaku pemegang kedaulatan. Hal ini menjadi kontradiktif dengan desain konstitusional DPR yang dihadirkan sebagai instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan bukan perilaku rakyat.
“Bahwa instrumen pemanggilan paksa itu, diberikan rakyat untuk mengontrol kekuasaan yang suatu saat perbuatan atau kebijakannya merugikan kepentingan rakyat. Oleh karena rakyat ketika memilih wakil-wakilnya di DPR melalui bilik suara pada pemilu, tidak pernah menghendaki, bahkan terpikir untuk dirinya dipanggil paksa untuk dirinya sendiri,” ujar Irman dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto.
Tidak Sesuai Desain Konstitusional
Sementara itu, terkait aturan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagaimana seperti tercantum dalam Pasal 122 huruf k UU MD3, Pemohon menilai aturan tersebut bertentangan dengan desain konstitusional DPR. Dalam pasal a quo diatur bahwa MKD dapat mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
“Apabila ditinjau dari desain konstitusional DPR, menjadi bertentangan oleh karena upaya hukum yang dilakukan oleh institusi DPR seharusnya ditujukan kepada pelaku kekuasaan bukan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang berbasis kemasyarakatan yang mempunyai kedudukan yang lebih lemah dibandingkan anggota DPR,” urainya.
Irman menjelaskan perlu disadari ketika rakyat, sekelompok orang atau badan hukum yang berbasis ormas melakukan kritik terhadap DPR, maka kritik tersebut bukanlah suatu perbuatan yang dapat dikategorikan merendahkan kehormatan DPR. Akan tetapi sebaliknya, lanjutnya, kritik tersebut ditujukan kepada DPR agar kehormatannya tetap terjaga. Sebab, jelas Irman, ketika ada kritik, berarti ada hal-hal yang menurut rakyat harus diperbaiki guna menjaga kehormatan DPR.
“Menjadi anomali ketika rakyat melakukan kritik terhadap DPR yang notabene wakilnya dan oleh DPR kemudian dianggap merendahkan dan dilakukan proses hukum melalui Mahkamah Kehormatan Dewan. Yang penting harus dipahami bahwa yang dimaksud merendahkan DPR dan anggotanya adalah ketika ada keputusan atau rekomendasi DPR yang tidak dipatuhi, maka itulah yang dikategorikan merendahkan kehormatan DPR, termasuk anggotanya,” papar Irman.
Terkait keberlakuan frasa “langkah hukum” dalam Pasal 122 huruf k UU MD3, Pemohon perkara Nomor 18/PUU-XVI/2018 menyebut potensi langsung masuknya ranah pidana menjadikan hukum pidana sebagai premium remedium dalam penanganan kasus terkait kehormatan DPR dan/atau anggota DPR dan bertentangan dengan prinsip hukum pidana sebagai ultimum remedium.
“Bahwa pada dasarnya, hukum pidana lahir sebagai mekanisme penegakan social order di masyarakat. Berlakunya hukum pidana dijadikan sebagai langkah terakhir (last resort) ketika di dalam masyarakat ada individu yang merusak social order dan sudah tidak bisa lagi dipulihkan,” tegas Zico Leonardo.
Bungkam Daya Kritis Rakyat
Hal senada disampaikan kuasa hukum PSI, Kamaruddin yang menyebut Pasal 122 huruf K UU MD3 membungkam daya kritis masyarakat. “Pasal ini sangat berpotensi menjadi “karet” dan mengekang daya kritis rakyat sebagai konstituen Pemohon. Yang kami maksud Pemohon adalah Partai Solidaritas Indonesia. Dan berpotensi mengekang peran fungsi Pemohon atau Partai Solidaritas Indonesia terhadap kinerja DPR, dan pasal ini adalah pasal upaya membungkam suara-suara rakyat sebagai upaya kriminalisasi, sebagaimana dipraktikkan di zaman Orde Baru atau Orba,” terangnya membacakan permohonan Nomor 17/PUU-XVI/2018.
Sedangkan terkait hak imunitas anggota DPR yang tercantum dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3, PSI mendalilkan ketentuan tersebut dapat mengancam kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. “Bahwa Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang MD3 memberi hak imunitas kepada anggota DPR terhadap semua dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota DPR sekaligus hal tersebut tidak terkait pelaksanaan tugas sebagai anggota DPR. Hal ini jelas-jelas perlakuan yang bersifat diskriminatif dan mencederai rasa keadilan,” terang Kamaruddin.
Belum Ada Nomor UU
Menanggapi tiga permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna selaku Ketua Panel Hakim menitikberatkan belum diresmikannya UU MD3 sehingga belum memiliki penomoran. Ia mengkhawatirkan permohonan para Pemohon akan terganjal terkait penomoran UU tersebut. Untuk itu, ia meminta para Pemohon melengkapi nomor UU MD3 usai disahkan nantinya.
“Undang-undang ini belum ada nomornya? Ini yang menjadi persoalan. Karena kalau belum ada nomornya, nanti bisa salah objek. Oleh karena itu, tentu saran kita nanti supaya dilengkapi nomornya kalau memang sudah keluar nomor undang-undangnya,” sarannya.
Lebih lanjut, terkait perkara Nomor 17/PUU-XVI/2018, Palguna menyarankan agar PSI memperbaiki kedudukan hukum sebagai partai politik. “Uraian mengenai legal standing, Anda memang sebagai partai politik, tetapi belum mempunyai representasi di DPR, jadi belum ikut membuat undang-undang ini, sehingga prima facie, dapat mengajukan Permohonan ini. Tetapi yang menjadi persoalan adalah harus ada kejelasan dalam uraian tentang legal standing-nya karena di situ pintu masuknya agar permohonan ini dapat diterima,” jelasnya.
Saran serupa untuk memperbaiki kedudukan hukum juga ditujukan Palguna bagi perkara Nomor 18/PUU-XVI/2018. Ia meminta agar Pemohon memperjelas kedudukan hukum dan hak konstitusional yang terlanggar akibat berlakunya pasal-pasal yang diujikan.
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta agar Pemohon memperbaiki petitum permohonan terutama untuk perkara Nomor 17/PUU-XVI/2018. “Lalu, di Petitum itu, Petitum 2 dan Petitum 3 itu digabungkan saja. Jadi, dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” jelasnya.
Panel hakim pun memberikan waktu kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari kerja. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan. (ARS/LA)