Kewenangan hapus buku dan hapus tagih merupakan hak melekat (inherent rights) yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang didasari prinsip juro suo uti nemo cogitur (tidak diwajibkan menggunakannya). Demikian disampaikan Dosen Fakultas Hukum UGM Paripurna P. Sugarda selaku ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) pada Rabu (7/3) yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
“Hapus buku dan hapus tagih merupakan inherent right LPS. Ketika LPS mempunyai kewenangan mengelola kekayaan serta bertanggung jawab atas pengelolaan serta penatausahaan aset dan kewajibannya, pasal a quo juncto 81 ayat (3) Undang-Undang LPS dan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang PPKSK yang mana ketentuan tersebut merupakan inherent dari pengelolaan piutang dan piutang merupakan bagian dari aset yang dalam pengelolaan piutang yang melekat penyelesaian piutang yang di dalamnya terkandung wewenang untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selanjutnya, Paripurna menjelaskan inherent rights tersebut timbul karena LPS mempunyai kewenangan mengelola kekayaan serta bertanggung jawab pengelolaan serta penatausahaan aset dan kewajibannya. Pengelolaan suatu badan pada dasarnya meliputi pengurusan dan penguasaan. Kewenangan hapus buku dan hapus tagih tidak dapat disangkal lagi merupakan perbuatan pengelolaan yang termasuk dalam kategori beschikkingsdaad.
“Dengan demikian, perbuatan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang LPS dan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang PPKSK melingkupi pula perbuatan pengelolaan piutang termasuk hapus buku dan hapus tagih. Oleh karena itu, kepada LPS tentu melekat kewenangan untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih,” jelasnya menanggapi permohonan Nomor 1/PUU-XVI/2018.
Kelaziman
Selain itu, Paripurna menyebut suatu badan hukum yang memiliki hubungan hukum dengan pihak lain, terbuka kemungkinan memiliki hak yang dapat dituntut dari pihak lain, hak tersebut lahir akibat adanya kontrak atau ketentuan undang-undang. Paripurna menjabarkan bahwa dalam suatu piutang tidak dapat tertagih, maka agar suatu sistem pembukuan dapat mencerminkan keadaan sebenarnya, lazim badan hukum tersebut menghapus catatan piutang dalam pembukuannya. Adapun dalam upaya penagihan piutang, pada dasarnya tersedia berbagai upaya agar pihak yang berutang berkehendak untuk mengusahakan pembayaran, maka tersedia pula sarana bagi badan hukum untuk menghapus suatu piutang tersebut.
“Jadi, dapat dikatakan hapus buku dan hapus tagih merupakan suatu hal yang masuk akal dan merupakan kelaziman bagi siapa pun termasuk LPS yang mempunyai piutang dan ingin menyelesaikan piutang tersebut,” terang Paripurna di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat yang didampingi Hakim Konstitusi lainnya.
Memiliki Wewenang
Dalam keterangan DPR yang disampaikan Anggota Komisi III Arteria Dahlan, ketiadaan wewenang hapus buku dan hapus tagih dalam UU LPS karena sesungguhnya telah diatur dalam UU PPKSK Pasal 46 ayat (3). “Dengan demikian, wewenang hapus buku dan hapus tagih tidak perlu lagi diatur dalam UU LPS karena kendati wewenang tersebut tidak diatur langsung dalam UU LPS, tetapi hal tersebut tidak mengurangi wewenang LPS,” sampai Arteria.
Menurut Arteria, UU LPS ditujukan untuk penjaminan simpanan nasabah yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan sehingga dapat meminimalkan risiko yang akan membebani anggaran negara. Adapun UU PPKSK dibentuk sebagai landasan hukum bagi lembaga untuk berkoordinasi dalam menjaga serta menciptakan stabilitas sistem keuangan negara. Dengan demikian, UU PPKSK melengkapi UU LPS untuk pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. “Oleh karena itu, wewenang LPS mengenai hapus buku dan hapus utang sudah cukup diatur dalam Pasal 46 ayat (3) UU PPKSK,” terang Arteria.
Selain itu, wewenang LPS tersebut juga terdapat pada Pasal 46 ayat (7) UU PPKSK yang menyatakan ketentuan tata cara penghapusbukuan dan penghapustagihan. Meskipun diakui Arteria, amanah pasal tersebut sampai saat ini belum dilaksanakan pemerintah karena masih dalam penyusunan RPP.
“Kalau PP tersebut ditetapkan, maka sebenarnya akan jelas kewenangan LPS, baik dari segi pprosedur, mekanisme, dan pelaporan LPS kepada PPKSK sehingga tanpa perlu adanya penegasan kewenangannya lagi dalam UU LPS. Jadi, UU PPKSK dan peraturan pelaksananya telah mampu memberikan kewenangan dan kepastian hukum,” tegas Arteria.
Adapun terkait frasa “termasuk dapat melakukan tindakanhapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang” sebagaimana dimintakan Pemohon dalam petitum, DPR berpandangan hal tersebut sama saja dengan perumusan norma baru dalam UU LPS yang merupakan kewenangan pembuat undang-undang, yaitu DPR bersama Pemerintah.
Sebagaimana diketahui, Lembaga Penjamin Simpanan selaku Pemohon menguji Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 81 ayat (3) serta Pasal 33 ayat (4) UU L. LPS mendalilkan dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), terhadap debitur bank sistemik, Pemohon diberikan dan ditegaskan secara eksplisit wewenang untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih (Pasal 46 ayat (5) UU PPKSK), sementara terhadap debitur bank non-sistemik dalam pasal yang diuji, tidak ditegaskan secara eksplisit wewenang Pemohon tersebut. Oleh karena itu, Pemohon menilai pasal-pasal tersebut tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sebelum mengakhiri sidang, Arief mengingatkan pada semua pihak bahwa kesimpulan dan tambahan keterangan dari berbagai pihak harus diserahkan paling lambat pada Kamis, 21 Maret 2018 pukul 14.00 WIB. (Sri Pujianti/LA)