Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Selasa (12/02), di ruang sidang Pleno Gedung MK. Sidang ini mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah, Ahli masing-masing dari Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait (Kepolisian) serta mendengar keterangan Pihak Terkait (Kejaksaan).
Perkara No. 28/PUU-V/2007 ini dimohonkan oleh Ny. A. Nuraini dan suaminya, Mayjen. TNI (Purn) Subarda Midjaja dengan kuasa hukum Ahmad Bay Lubis, S.H., A.H. Wakil Kamal, S.H., dan Yanrino H.B. Sibuea, S.H. Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. Menurut Pemohon, fungsi dan kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan RI yang diatur dalam pasal tersebut sangat tidak lazim karena Kejaksaan memiliki wewenang ganda dalam suatu proses hukum pidana yaitu bisa menyidik dan menuntut.
Pasal 30 Ayat (1) huruf d menyatakan: âMelakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.â
Di dalam legal standing-nya, Subarda memaparkan pada tahun 2004 dirinya telah diperiksa sebagai tersangka dan menjalani proses penyidikan di Mabes Polri menyangkut dugaan perbuatan penggelapan atau penipuan uang PT. ASABRI. Setelah itu, POLRI menetapkan penghentian penyidikan (SP3) pada perkara ini. Namun, sejak 6 Agustus 2007, Kejaksaan Agung RI memanggil, memeriksa, dan menyidik ulang Pemohon Subarda sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi dalam penyalahgunaan dana PT. ASABRI (Persero).
Kejaksaan Agung selaku penyidik kemudian melakukan penahanan atas diri Subarda dan sejak 8 November 2007, penahanan Subarda dilanjutkan Kejaksaan Negeri Jakarta Timur selaku Penuntut Umum. Wewenang Kejaksaan untuk menyidik dan menuntut inilah yang dianggap para Pemohon berlebihan dan tanpa kontrol. Kewenangan rangkap ini oleh para Pemohon dianggap menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum.
Selain itu, para Pemohon merasa akibat penerapan Pasal 30 ini pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarganya terhalang karena si suami ditahan Kejaksaan Agung. âAkibat tindakan ini, selain menderita tekanan psikologis, tindakan Kejaksaan ini menyebabkan beberapa usaha bisnis yang telah dirintis dengan susah payah oleh Pemohon menjadi hancur berantakan dan tak terurus,â jelas Kuasa Hukum Pemohon pada persidangan sebelumnya.
Dalam Petitum yang dibacakan oleh Kuasa Hukumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi hal di atas, pada persidangan ini, Pemerintah yang diwakili oleh Jamdatun, Untung Uji Santoso, mengatakan bahwa MK sebenarnya tidak berwenang memeriksa perkara ini karena penyidikan Jaksa terhadap Pemohon dilakukan untuk perkara korupsi setelah turunnya SP3 bagi Pemohon untuk perkara penggelapan. âUntuk itu, jika Pemohon ingin menyelesaikan permasalahan ini seharusnya di peradilan umum, bukan di MK,â papar Untung.
Permohonan Pemohon, tambah Untung, juga dinilai kabur karena tidak menjelaskan dengan baik kontradiksi antara Pasal 30 Ayat (1) huruf d dengan UUD 1945. âBahkan, tak hanya Jaksa, KPK pun punya kewenangan terkait untuk memeriksa tindak pidana korupsi,â tambahnya.
Pihak Terkait Kejaksaan, Jamintel, Wisnu Subroto, menjelaskan bahwa kewenangan menyidik perkara korupsi oleh Jaksa adalah wewenang yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Justru, menurut Wisnu, upaya pemberantasan korupsi oleh beragam instansi adalah sebagai upaya checks and balances, yaitu bila ada instansi yang kurang optimal dalam penanganannya, maka bisa di-back up oleh instansi lainnya. âDi Indonesia, selain Jaksa, masih ada KPK yang bisa melakukan penyidikan dan kewenangan ini tidak pernah dipermasalahkan,â jelas Wisnu.
Sementara itu, Ahli Pemohon, Marojahan Jalfiner Saud Panjaitan, mengatakan bahwa selama ini para pembuat undang-undang tidak menerapkan ilmu perundang-undangan dengan baik yang mengamanahkan kepastian hukum di dalam rumusan peraturan perundang-undangan. âKata âtertentuâ dalam Pasal tersebut justru menimbulkan multitafsir. Seharusnya tertera dengan jelas apakah yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi atau ekonomi,â jelas Pengajar Ilmu Perundang-undangan ini.
Menambah keterangan Marojahan, Ahli Pemohon, Prof. J. E. Sahetapy, menjelaskan bahwa dalam konsep Integrated Criminal Justice System (ICJS), Kepolisian adalah penyidik tunggal dan Kejaksaan adalah penuntut tunggal. âTidak ada lagi yang lain di republik ini,â tegas Sahetapy.
Berbeda dengan kedua Ahli Pemohon, Prof. Andi Hamzah sebagai Ahli dari Pemerintah justru menjelaskan bahwa di belahan negara-negara lain, Jaksa juga mempunyai wewenang untuk menyidik. Tak kurang Prof. Andi Hamzah menyebutkan bahwa konsep wewenang ganda Kejaksaan ini diterapkan di negara Rusia, Jerman, Perancis, Thailand, China, hingga Georgia.
Turut menambahkan keterangan Andi Hamzah, Ahli Pemerintah dari Departemen Luar Negeri (Deplu), Arif Havas Oegroseno, memaparkan jika muncul ketidakjelasan siapa yang berwenang melakukan penyidikan, maka akan memunculkan dampak politis bagi politik luar negeri Indonesia. Pertama, akan membuat mitra luar negeri bingung dengan siapa mereka akan berhubungan soal penyidikan. Kedua, secara bilateral, dalam perundingan dengan Singapura, China, Hongkong, maupun Amerika, akan muncul dampak yang sama yaitu dengan siapa mereka akan bermitra dalam hal penyidikan.
Sedangkan, Ahli dari Pemerintah, Indriyanto Seno Adji, memaparkan bahwa Jaksa bisa langsung melakukan penyidikan maupun menunjuk penyidik di luar institusinya. Bahkan, berdasarkan sejarah, Indriyanto menceritakan bahwa dalam Konstitusi RIS juga pernah diatur perihal Jaksa berwenang melakukan penyidikan. Selain itu, berdasarkan alasan filosofis, sebenarnya terdapat keterkaitan antara ICJS dengan Trias Politica dalam hukum tata negara. Konsep separation of powers, menurut Indriyanto, sebenarnya lebih dekat dengan konsep distribution of powers yang di dalamnya memuat nilai kerjasama atau saling isi antar penegak hukum. Dalam hal ini, Kejaksaan bisa memiliki wewenang sama untuk mengawasi pelaksanaan joint investigation untuk tindak pidana tertentu. âInilah yang sebenarnya diterapkan dalam undang-undang yang dipermasalahkan sekarang (UU Kejaksaan red.),â jelas Indriyanto.
Dari Pihak Terkait Kepolisian, Kadiv Hukum, Irjen Pol. Arianto Sutadi, menceritakan bahwa pada praktiknya, rakyat justru banyak terlanggar hak-haknya untuk memperoleh keadilan karena penuntutan tak segera berlangsung akibat proses koreksi (P19) oleh Jaksa yang harus dilakukan berulang kali oleh pihak penyidik dari kepolisian. âAda semacam aturan internal di Kejaksaan bahwa bila Jaksa tidak melakukan koreksi, maka Jaksa itu dianggap tidak baik. Makanya, mereka sering kali mengembalikan berkas penuntutan dengan disertai alasan kekurangan yang mengada-ada,â cerita Arianto.
Sementara itu, Ahli dari Pihak Terkait, Mantan Kapolri, Prof. Awaloedin Djamin, dan Praktisi Hukum, O.C. Kaligis, mengetengahkan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik hanya ada dua, yaitu Polisi dan Pegawai Negeri Sipil yang memiliki keahlian teknis di bidangnya. âJustru kekuasaan satu atap yang dimiliki Kejaksaan ini rawan atas penyelewengan wewenang karena Jaksa bisa bertindak melakukan koreksi untuk dan atas nama dirinya sendiri,â papar Kaligis.
Dari hasil persidangan ini, Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. memberi waktu seminggu bagi masing-masing pihak untuk menyerahkan konklusi mereka, sebelum dirapatkan oleh Majelis Hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim. Persidangan berikutnya adalah pembacaan putusan. (Wiwik Budi Wasito)