Penahanan seorang tersangka tetap harus memperhatikan batas-batas tertentu agar hak asasi manusia tersangka tidak terlanggar. Demikian sampai Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember Nurul Ghufron yang merupakan Ahli Pemohon yang dihadirkan dalam sidang lanjutan perkara Nomor 4/PUU-XVI/2018 pada Senin (5/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya, Ghufron menekankan penahanan yang melindungi hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945. Berkaitan dengan uji materiil Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 tersebut, Ghufron memandang pentingnya pelaksanaan prinsip proporsionalitas dan nesessity (kebutuhan) saat melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa.
Menurut Ghufron, pada dua prinsip tersebut, ia melihat ada tiga unsur, yaitu sebuah peraturan perundang-undangan yang dibuat harus bertujuan untuk melindungi hak asasi setiap manusia secara adil tanpa diskriminasi. Akan tetapi, lanjutnya, jika ada pembatasan terhadap hak asasi manusia harus sesuai dengan prinsip umum, yakni melindungi kepentingan, keamanan dan ketertiban umum serta melindungi hak fundamental orang lain. Kemudian, pembatasan harus berdasarkan hukum yang berlaku dan merupakan instrumen terakhir yang harus dipilih semata-mata melihat kepentingan umum yang mendesak.
“Jadi, jangan sampai tujuan melindungi hak warga negara, tetapi malah kemudian melanggar hak konstitusi warga negara yang lain,” jelas Ghufon di hadapan Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Masa Pemidanaan
Berkaitan dengan konsekuensi masa penahanan, Ghufron melihat fakta di lapangan bahwa masa penahanan diperhitungkan sebagai masa pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini, menurut Ghufron, akan menimbulkan kekacauan kewenangan penentuan masa pemidanaan yang seharusnya menjadi wewenang hakim. Terkuranginya wewenang ini dikarenakan harus mengakomodir masa penahanan yang telah dilakukan penyidik atau jaksa penuntut umum (JPU). Bahkan terkesan penyidik atau JPU telah menjebak hakim, baik untuk menentukan kebersalahan maupun masa pemidanaan yang merupakan wewenang hakim. Namun kemudian, secara struktural dikurangi oleh wewenang penahanan penyidik dan JPU. “Masa penahanan itu mengurangi masa pidana. Padahal hal tersebut wewenang hakim dan harus seizin hakim. Jika tidak, maka penyidik berarti telah mereduksi kewenangan hakim,” jelas Ghufron.
Sutarjo yang berprofesi sebagai pengacara mengajukan permohonan karena penahanan yang dilakukan penyidik Polda Jatim terhadap dirinya. Sebelumnya, pemohon telah melaporkan Mashudi, yang berprofesi sebagai notaris/PPAT, sehubungan dengan sengketa jual beli tanah tambak yang melibatkan klien pemohon. Setelahnya, Pemohon menerima surat perintah penahanan karena Mashudi melaporkan kembali Pemohon dan Klien Pemohon dengan dugaan tindak pidana pemalsuan dan/atau fitnah dan/atau pengaduan palsu. Pemohon mendalilkan bentuk perlindungan terhadap martabat seseorang salah satunya diwujudkan dengan adanya jaminan hak seseorang tidak boleh ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 9 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948.
Menurut Pemohon, penahanan adalah perampasan kemerdekaan seseorang dan seharusnya pembentuk UU memberikan kontrol terhadap aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Apabila seorang tersangka kooperatif, tidak mempersulit penyidikan, tidak melarikan diri dalam penyidikan, penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap saja bisa melakukan penahanan. Faktanya, seringkali kewenangan penahanan menjadi sarana transaksional, tergantung dari penyidik maupun JPU. Namun demikian, dalam hal ini, tersangka tidak diberikan hak untuk membela diri agar tidak dilakukan penahanan. (Sri Pujianti/LA)