Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima uji Pasal 162 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Rabu (28/2). Putusan Nomor 74/PUU-XV/2017 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (28/2) siang. “Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim lainnya.
Mantan Anggota DPR Emir Moeis menguji konstitusionalitas Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP terkait kehadiran saksi di persidangan. Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP menyebut seorang saksi boleh tidak hadir di persidangan dan cukup menyampaikan keterangannya secara tertulis. Namun, keterangannya itu sama nilainya dengan saksi yang hadir di persidangan. Menurut Pemohon, ketentuan itu berpotensi menghilangkan hak konstitusional seorang terdakwa. Berdasarkan alasan tersebut, Pemohon berpendapat maka seorang saksi boleh tidak hadir di persidangan dan cukup menyampaikan keterangannya secara tertulis. Selain itu pasal tersebut tidak lagi relevan, seiring dengan perkembangan teknologi jika pun ada seorang saksi yang tidak bisa datang ke persidangan karena alasan sesuai dengan UU a quo, maka dapat dilakukan via komunikasi visual.
Dalam Pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menilai dalil Pemohon yang mengonstruksikan bahwa dirinya menderita kerugian konstitusional yaitu dipidananya Pemohon semata-mata karena berlakunya Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP adalah tidak benar. Sebab, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon sendiri, Pemohon dijatuhi pidana adalah karena terbukti adanya persesuaian sejumlah alat bukti yang membuat hakim yakin bahwa Pemohon terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum. Saldi melanjutkan fakta atau peristiwa aktual bahwa seseorang, termasuk Pemohon, dijatuhi pidana oleh hakim atau pengadilan tidaklah serta-merta berarti telah terjadinya kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK.
Saldi pun menambahkan berdasarkan pertimbangan dan fakta-fakta hukum tersebut, tanpa bermaksud menilai hasil pembuktian kasus konkret yang dilakukan oleh hakim Tipikor, Mahkamah berpendapat tidaklah terdapat alasan hak konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Hal tersebut karena majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta tidak hanya menyandarkan putusannya kepada kesaksian Pirooz Mohammad Sharafi yang keterangannya dibacakan di persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum. Akan tetapi, lanjut Saldi, adanya kesesuaian antara kesaksian saksi-saksi yang lain dengan keterangan saksi Pirooz Mohammad Sharafi dan ditambah dengan keyakinan hakim.
“Berdasarkan fakta dan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, oleh karena tidak terdapat kerugian hak konstitusional Pemohon, maka Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo,” jelas Saldi. (ARS/LA)