Aturan tentang sanksi bagi pihak yang menghalangi proses pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) konstitusional. Demikian Putusan Nomor 7/PUU-XVI/2018 dibacakan Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang Pleno MK.
Khaeruddin yang berprofesi sebagai advokat mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 21 UU PTPK. Menurut Pemohon, pasal a quo membuat profesi advokat terbelenggu guna menegakkan hukum dan keadilan kendati memiliki niat yang mulia untuk menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, Pemohon juga menilai pasal a quo mengakibatkan penafsiran subjektif oleh penegak hukum untuk dapat merintangi atau menggagalkan, baik secara langsung atau tidak langsung tugas seorang advokat dalam menjalankan tugasnya melakukan pembelaan terhadap klien.
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat sepanjang tidak terbukti seorang Advokat secara sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 UU PTPK, maka tidak terdapat alasan apapun untuk menyatakan bahwa Pasal 21 UU PTPK mengkriminalkan dan membelenggu Advokat dalam menjalankan profesinya. Lagi pula, jika benar, sebagaimana dalil Pemohon, bahwa tindakan seorang Advokat tujuannya adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan maka tujuan itu sendiri telah membantah dalil kriminalisasi dan belenggu sebagaimana diutarakan Pemohon sebab hal itu telah dengan sendirinya menunjukkan tidak adanya niat jahat (mens rea) dari perbuatan itu. “Selain itu, Undang-Undang a quo adalah bersifat dan berlaku umum, bukan ditujukan untuk kelompok tertentu, termasuk Advokat,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan Pendapat Mahkamah.
Sementara terkait hak imunitas advokat, Palguna menjelaskan Pasal 21 UU PTPK tidak menghilangkan hak imunitas Advokat. Pasal 16 Undang-Undang Advokat (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003) yang dirujuk Pemohon sebagai landasan dalil ini berbunyi, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”. Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, lanjut Palguna, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. Sehingga, jika dihubungkan dengan norma dalam Pasal 21 UU PTPK, seorang Advokat yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa yang sedang dibelanya jelas tidak dapat dikatakan memiliki itikad baik.
“Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud,” papar Palguna.
Sedangkan terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketiadaan tolok ukur dalam Pasal 21 UU PTPK dapat membuat penegak hukum bertindak sewenang-wenang bahkan menjadikannya alat politik untuk mengkriminalisasi Advokat, Palguna menerangkan karena ketiadaan tolok ukur dalam Pasal 21 UU PTPK tersebut telah ternyata tidak terbukti, maka dalil Pemohon a quo dengan sendirinya menjadi kehilangan landasan argumentasinya. Sebab, menurut Mahkamah, tolok ukur dimaksud sudah sangat jelas yaitu adanya unsur kesengajaan (dalam Pasal 21 UU PTPK), sehingga andaipun dihubungkan dengan keberadaan hak imunitas Advokat, Pasal 16 UU Advokat pun telah jelas memberikan tolok ukur bahwa hak imunitas hilang ketika tidak ada itikad baik.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah menjadi terang bahwa sama sekali tidak terdapat alasan untuk menyatakan Pasal 21 UU PTPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Palguna.
Penarikan Kembali
Dalam sidang yang sama, Mahkamah juga menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan perkara Nomor 8/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Barisan Advokat Bersatu (Baradatu) beralasan menurut hukum. “Menetapkan mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon,” ucap Ketua MK Arief Hidayat yang didampingi Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam permohonannya, para Pemohon melalui kuasa hukum Victor Santoso Tandiasa menyampaikan Pasal 21 UU Tipikor dan Pasal 221 ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 29D ayat (1) dan(2), serta Pasal 28G UUD 1945. Menurut para Pemohon, pasal a quo telah bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 karena Indonesia sebagai negara hukum yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan yang aman, tertib, dan berkeadilan. Kemudian kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab tersebut memerlukan advokat yang mandiri, bebas, dan bertanggung jawab menegakkan hukum perlu dijamin dan dilindungi oleh UU demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum.
Namun, pada sidang perbaikan permohonan pihaknya menyatakan menarik permohonan dengan alasan permohonan yang diajukan, baik secara pasal mapun substansi permohonan sama dengan permohonan perkara Nomor 7/PUU-XVI/2018. Dengan demikian, para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian UU a quo. (Sri Pujianti/LA)