Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan uji materiil aturan terkait hak konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Putusan Nomor 91/PUU-XV/2017 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat didampingi hakim konstitusi lainnya pada Rabu (28/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
Muhammad Hafidz selaku Pemohon perseorangan menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 4 huruf b UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan hak konsumen adalah hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Pemohon berkeberatan dengan kewajiban membayar jalan berbayar atau tol menggunakan uang elektronik dan tidak lagi menerima uang dalam bentuk kertas dan/atau logam. Pemohon menilai penggunaan uang elektronik sebagai satu-satunya cara untuk dapat menggunakan jalan tol, telah membatasi dalam mendapatkan perlakuan yang adil dan bebas dari perlakuan diskriminatif sebagai konsumen. Pemohon mendalilkan ketentuan tersebut hanya mengatur hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa, tanpa diberikan hak untuk memilih cara melakukan pembayaran atas barang dan/atau jasa yang hendak dimiliki dan/atau digunakan, telah tidak memberikan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan bagi Pemohon. Menurut Pemohon, ketiadaan hak tersebut berakibat pelaku usaha dapat secara sewenang-wenang menentukan sendiri cara pembayaran atas barang dan/atau jasa yang ditawarkannya.
Menanggapi permohonan tersebut, Mahkamah menilai hal tersebut adalah semata-mata persoalan penerapan praktik, tidak terkait dengan konstitusionalitas norma. Pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon tersebut jutsru memberi ruang pilihan kepada para konsumen sebebas-bebasnya (the right to choose) di dalam memilih barang atau jasa atau produk yang diinginkan atau yang akan dikonsumsinya dengan melakukan pembayaran yang telah secara diam-diam sebenarnya telah disepakati secara wajar tanpa diliputi unsur paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan tipu daya (bedrog) dari pelaku usaha terhadap konsumen, sebagaimana unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai bagian dari syarat sahnya sebuah perjanjian/ kesepakatan.
Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan Pendapat Mahkamah menyebut, penggunaan uang elektronik (e-money), merupakan sebuah kebijakan dari Pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada pengguna jalan tol agar lebih mudah dan cepat serta tidak mengantri terlalu lama di gerbang tol guna mengurangi kemacetan. Hal tersebut hakikatnya juga bentuk peningkatan kualitas pelayanan dan hal tersebut menegaskan bahwa tidak ada korelasinya dengan norma yang diuji oleh Pemohon. Terlebih kebijakan tersebut bukanlah sebuah bentuk diskriminasi perlakuan kepada konsumen, karena konsumen tidak dipaksa dalam penggunaan jalan tol, melainkan konsumen diberikan kebebasan untuk memilih apakah konsumen akan menggunakan jasa jalan tol atau tidak. “Namun jika konsumen memilih ingin mengunakan jasa jalan tol, maka konsumen diwajibkan untuk membayarnya dengan cara menggunakan e-money yang bertujuan agar lebih mudah dan cepat dalam membayarnya serta tidak mengantri terlalu lama di gerbang tol,” ujar Suhartoyo.
Selain itu, Suhartoyo menambahkan apabila pengguna jalan tol khawatir terjadi keadaan memaksa (force majeur), yaitu kedaruratan, kealpaan hingga terjadi suatu keadaan yang menyebabkan kerusakan (error) pada mesin pembaca chip dalam e-money, hal tersebut sekali lagi juga bukanlah menyangkut masalah inkonstitusionalitas suatu norma. Melainkan, sambung Suhartoyo, persoalan yang bersifat teknis di lapangan yang dapat diatasi para pengguna tol dengan meminta petugas pintu tol yang kebetulan sedang bertugas pada saat itu untuk mengatasinya.
“Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah Pasal 4 huruf b UU 8/1999 sebagai bentuk pelindungan kepada konsumen telah memberikan kepastian hukum kepada konsumen dan tidak bersifat diskriminasi sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2),” tandas Suhartoyo. (Lulu Anjarsari)