Aturan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) melindungi dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara secara keseluruhan. Demikian disampaikan oleh Direktur Dana Perimbangan Kementerian Keuangan Putut Hari Satyaka dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018 (UU APBN 2018). Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (27/2).
Pemerintah berpendapat ketentuan Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN 2018 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional masyarakat Kabupaten Kutai Timur. Ketentuan tersebut, lanjutnya, melindungi warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 34 UUD 1945, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan agar dipenuhi oleh pemerintah daerah.
“Penganggaran TKDD (Transfer ke Daerah dan Dana Desa) merupakan pemenuhan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah dalam hubungan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dengan tujuan untuk public service delivery dan kesejahteraan masyarakat. Anggaran TKDD yang besar harus dimanfaatkan secara optimal, efisien, efektif dan produktif,” urai Putut Hari Satyaka.
Dijelaskan Satyaka, untuk menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara Indonesia dan terpenuhinya public service delivery yang berkualitas, pemerintah dan pemerintah daerah setiap tahunnya wajib mengalokasikan setidak-tidaknya 20% dari APBN/APBD. Anggaran tersebut dipergunakan untuk belanja pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan serta 10% APBD di luar belanja gaji untuk belanja kesehatan sesuai mandat Pasal 49 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 171 ayat (2) UU Kesehatan.
Menurut Pemerintah, penundaan TKDD tidak berarti pemotongan atau hilangnya anggaran seperti yang didalilkan Pemohon. Penundaan transfer tersebut, lanjut Putut, dilakukan secara berhati-hati dan selektif agar tidak mengurangi pelayanan dasar kepada masyarakat. Ia menambahkan penundaan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berupa perkiraan pendapatan dan belanja daerah, termasuk belanja pegawai dan belanja modal. Penundaan penyaluran transfer tersebut dituangkan dalam peraturan Menteri Keuangan. Karena bersifat penundaan, transfer yang ditunda tersebut tidak akan hilang atau hangus, namun tetap menjadi hak daerah dan akan dianggarkan untuk disalurkan kembali ke daerah pada tahun anggaran berikutnya.
“Penundaan pemotongan yang didalilkan oleh Para Pemohon dalam Permohonan a quo merupakan bentuk pemotongan sesuai dengan kondisi tersebut di atas, bukan pemotongan sehubungan dengan pelaksanaan Pasal 15 ayat (3) huruf d Undang-Undang APBN Tahun 2018. Dengan demikian, Permohonan Pemohon telah salah objek sehingga seyogianya dinyatakan tidak dapat diterima,” tandas Satyaka menanggapi permohonan Nomor 5/PUU-XVI/2018.
Pemohon yang tergabung dalam Gerakan G20 Mei merupakan perkumpulan warga Kabupaten Kutai Timur yang terdiri dari berbagai kalangan profesi. Dalam permohonannya, Pemohon mempermasalahkan pemotongan maupun penundaan anggaran oleh pemerintah pusat untuk pemerintah daerah.
Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN menyatakan,“Ketentuan mengenai penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa diatur sebagai berikut: d.dapat dilakukan penundaan dan/atau pemotongan dalam hal daerah tidak memenuhi paling sedikit anggaran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan atau menunggak membayar iuran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan.”
Para Pemohon menguraikan dalam permohonannya, ketentuan a quo telah merugikan hak konstitusional para Pemohon karena tidak mendapatkan haknya sebagai masyarakat Kabupaten Kutai Timur untuk mendapatkan transfer uang dari pemerintah pusat secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Untuk itu, Pemohon meminta MK membatalkan keberlakuan pasal a quo. (ARS/LA)