Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan langkah maju. Hal ini merupakan cara bangsa Indonesia merespons pengalaman penanganan krisis perbankan yang melanda Indonesia pada 1998. Hal tersebut disampaikan Mantan Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) Sigit Pramono selaku Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) pada Senin (26/2) siang.
“Pemerintah mendirikan LPS dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara sebesar 4 triliun rupiah dan LPS juga berwenang menerima premi penjaminan dari industri perbankan, dimana hasil pengelolaan dana tersebut dipergunakan untuk penanganan dan penyelamatan bank gagal, serta menanggulangi krisis perbankan yang mungkin timbul di kemudian hari tanpa membebani APBN yang seperti yang terjadi di masa lampau,” papar Sigit terhadap perkara yang teregistrasi dengan Nomor 1/PUU-XVI/2018.
Sigit menjelaskan, dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya LPS melakukan tindakan penyelesaian atau penanganan terhadap bank yang mengalami kesulitan keuangan atau bank gagal, baik dalam kondisi ekonomi yang normal maupun krisis. Dalam penyelesaian atau penanganan bank bermasalah, LPS melakukan tindakan-tindakan layaknya seperti bank.
Dikatakan Sigit, bekerja dalam sistem operasional perbankan harus sesuai dengan praktik perbankan pada umumnya. Dunia perbankan mengenal istilah hapus buku dan hapus tagih sebagai salah satu upaya penanganan kredit bermasalah. Hapus buku adalah tindakan administratif bank untuk menghapus kredit macet dari neraca bank.
“Istilah hapus buku dalam perbankan dikenal juga dengan sebutan write-off, yaitu pinjaman macet yang tidak dapat ditagih lagi, dihapuskan dari neraca atau on balance sheet dan dicatat pada rekening administratif menjadi off balance sheet. Namun, bank tetap melakukan upaya penagihan. Sedangkan hapus tagih adalah tindakan untuk menghapus kewajiban debitur yang tidak dapat diselesaikan yang akan dihapus, benar-benar akan dihapus dari neraca bank, baik on balance sheet maupun off balance sheet. Dalam beberapa tulisan disebut absolute write-off,” tambah Sigit.
Sigit menambahkan, ketentuan hapus buku dan hapus tagih telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 69 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang penilaian kualitas aset bank umum yang mewajibkan bank membuat ketentuan dan prosedur tertulis mengenai pelaksanaan hapus buku dan hapus tagih.
Badan Hukum Mandiri
Sementara itu, Pemerintah diwakili oleh Tio Serepina Siahaan menegaskan bahwa UU LPS membentuk LPS sebagai badan hukum yang mandiri yang akan berperan menjaga stabilitas perbankan sebagai bagian dari stabilitas keuangan nasional. “Dengan pembentukan LPS diharapkan stabilitas perbankan dapat terjaga sedini mungkin sehingga negara terhindarkan dari melakukan penjaminan secara langsung sebagaimana terjadi dalam krisis perbankan tahun 1998,” ucap Tio.
Selain, lanjut Tio, UU LPS telah memberikan kewenangan kepada LPS untuk merumuskan kebijakan antara lain kebijakan untuk melaksanakan tugas menguasai dan mengelola kekayaan dan kewajibannya maupun aset dan kewajiban bank gagal yang diserahkan penanganan penyelesaiannya kepada LPS.
“Pembentuk UU LPS melalui perumusan norma-norma dalam UU LPS menginginkan perumusan kebijakan sebagai pelaksanaan kewenangan tersebut, dilakukan LPS dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, transparansi dan akuntabilitas untuk menjamin tercapainya tugas dan fungsi pembentukan LPS turut serta menjaga stabilitas sistem perbankan nasional dan tidak menimbulkan risiko terhadap negara,” urai Tio.
Dengan demikian, menurut Pemerintah, perumusan pasal-pasal dalam UU LPS tidak ada yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagaimana diketahui, Lembaga Penjamin Simpanan selaku Pemohon menguji Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 81 ayat (3) serta Pasal 33 ayat (4) UU No. 24/2004. Pasal 6 ayat (1) huruf c menyebutkan, ”Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut: melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.” Sedangkan Pasal 81 ayat (3) berbunyi, ”LPS bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan semua asetnya.”
Pasal-pasal tersebut dinilai Pemohon tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil yang mutatis mutandis bertentangan dengan prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip negara hukum adalah salah satunya adalah jaminan atas kepastian hukum.
Sedangkan Pasal 33 ayat (4) tentang perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, kami underline, efisiensi berkeadilan. Bahwa seperti diketahui bahwa LPS adalah sebuah lembaga yang hadir untuk menjaga stabilitas sistem perbankan, menjamin nasabah-nasabah perbankan, dimana susah dihindari sebagai badan-badan usaha, sebagai badan usaha LPS itu akan bersinggungan dengan piutang dalam aset berupa piutang. (Nano Tresna Arfana/LA)