Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Perkara No. 29/PUU-V/2007 tentang pengujian UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (UU Perfilman) terhadap UUD 1945, Rabu (6/2) di ruang sidang pleno MK dengan agenda Pembuktian, Mendengarkan Keterangan Saksi Pemohon, Pihak Terkait Tidak Langsung (Komisi Film Independen-Konfiden dan Dewan Kesenian Jakarta-DKJ).
Sidang yang dimulai pukul 09.00 WIB ini diawali dengan sidang tertutup selama satu jam untuk melihat film karya Pemohon, Tino Saroenggalo dan hasil potongan-potongan film dari Lembaga Sensor Film (LSF). Setelah itu, dalam persidangan yang terbuka untuk umum, Majelis Hakim Konstitusi mendengar keterangan saksi dari Pemohon, antara lain, Aktris, Dian Sastrowardoyo dan Produser film, Mira Lesmana. Sedangkan Ahli dari Pemohon, antara lain, Amir Effendy Siregar, Saban Leo Batubara, Siti Musda Mulia, dan Zoemrotin KS. Selain itu, didengar pula keterangan dari Pihak Terkait Tidak Langsung, antara lain, Marco Kusuma Widjaya dari Dewan Kesenian Jakarta, Agus Mediarta dari Komunitas Film Independen, dan pihak dari Institut Kesenian Jakarta.
Saksi Pemohon, Mira Lesmana, menganggap LSF cenderung otoritarian atau tidak demokratis. âLembaga ini mempunyai wewenang menyidik, mendakwa, kemudian memutuskan sebuah film dapat tayang atau tidak tanpa melakukan dialog dengan pembuat film,â paparnya.
Sementara itu, Dian Sastrowardoyo di kesaksiannya mengatakan bahwa dengan menguji UU Perfilman ini bukan berarti Masyarakat Film Indonesia (MFI) ingin membuat âfilm biruâ, tapi justru ingin mengajak para sineas untuk membuat film-film yang aktual, kritis, dan kreatif.
Sedangkan Ahli dari Pemohon, Saban Leo Batubara, pada sidang ini memaparkan bahwa sensor pers dan sensor film mencabut hak warga negara Indonesia untuk berkomunikasi, memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Apabila penyelenggaraan perfilman sama dengan penyelenggaraan pers yang tanpa sensor, tambah Leo, mungkin akan dapat mencerdaskan bangsa dengan film-film yang aktual apabila dibandingkan dengan sinetron-sinetron yang membodohi dan juga acara-acara kekerasan, hantu, dan takhayul yang semuanya dinyatakan sudah lulus sensor oleh LSF.
âLangkah yang mungkin bisa memecahkan masalah diantaranya dibentuk badan pengatur perfilman independen nasional yang calonnya diusulkan oleh publik lewat proses fit and proper test oleh dan bertanggung jawab kepada DPR. (hal ini) Mungkin akan lebih baik karena core business industri perfilman adalah informasi, sehingga pertanggungjawaban kepada DPR ketimbang ke Pemerintah adalah lebih demokratis,â jelas Leo.
Pada kesempatan yang sama, Ahli Pemohon, Amir Effendy Siregar, mengatakan UU Perfilman ini dianggap otoriter, represif, dan tidak konsisten karena lingkup UU a quo mencakup sensor seluruh jenis film yang ditampilkan di media elektronik termasuk televisi tetapi tidak untuk film layar lebar atau bioskop. Seharusnya, lanjut Amir, LSF ini harus menjadi lembaga yang memberi klasifikasi dan menilai jenis film yang beredar, bukan hanya memotong tanpa adanya parameter atau ukuran yang jelas tentang penyensoran.
Menurut Amir, negara Indonesia bisa belajar dari negara lain seperti Amerika dan Australia soal pengaturan tentang perfilman, baik soal pengkategorian dan pendistribusian film, tanpa melupakan nilai-nilai ke-Indonesia-an. âUntuk itu saya mengusulkan agar Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang distribusi media termasuk film, buku, surat kabar, dan majalah berdasarkan UU Perlindungan Anak dan UU Pers atau dicarikan jalan hukum yang tepat lainnya,â ucap Amir.
Sementara itu, Ahli Pemohon di bidang perlindungan konsumen, Zoemrotin KS, mengatakan klasifikasi yang dilakukan LSF saat ini kurang tepat dan harus diperjelas lagi. Zoemrotin mencontohkan, pada saat LSF menentukan batasan film untuk umur 17 tahun ke atas, maka hal tersebut sudah melanggar hak anak karena usia anak berdasarkan UU Perlindungan Anak adalah sampai 18 tahun. âJadi saat LSF menentukan suatu film itu hanya untuk 17 tahun ke atas, maka LSF sudah membiarkan film-film tersebut ditonton oleh anak-anak,â ujarnya.
Zoemrotin mengemukakan, selama ini konsumen film mencari informasi tentang film dengan melihat siapa sutradara, produser, dan pemainnya, tanpa mempertanyakan apakah film yang akan ditonton sudah lulus sensor atau belum. Oleh karena itu, menurutnya, saat ini yang diperlukan adalah klasifikasi penonton film sesuai dengan usia dan kepentingannya. âHal ini perlu dilakukan agar semua lapisan konsumen film mendapatkan kepuasan,â tambahnya.
Sebelum sidang diakhiri, Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menegaskan kepada Pemohon, Pemerintah, DPR, maupun Pihak Terkait untuk membuat konklusi paling lama 21 hari. âHal ini perlu untuk kami menentukan putusan,â ucap Jimly. (Prana Patrayoga Adiputra)