Musyawarah Guru Mata Pelajaran Jakarta Utara ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (22/2). Agenda tersebut dalam rangka meningkatkan pemahaman terkait MK dan juga ketatanegaraan Indonesia secara umum.Peneliti MK Irfan Nur Rahman menyambut rombongan yang berjumlah 37 orang tersebut di Aula MK. Saat pemaparan awal, Irfan menyebut MK adalah “bukan barang baru” di Indonesia. “Gagasan awal terkait MK bisa dilacak sejak zaman mendekati Indonesia merdeka,” jelasnya.
Irfan memaparkan sejarah berdirinya MK di Indonesia diusulkan pertama oleh Mohammad Yamin. Saat rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Yamin mengusulkan Balai Agung perlu diberi wewenang untuk membanding undang-undang terhadap Konstitusi. Namun, Soepomo tidak setuju karena UUD yang disusun saat itu tidak menganut sistem trias politica. Alasan lain, kala itu belum banyak sarjana hukum di Indonesia. Selain itu, kondisi hukum kala itu masih bersifat plural. Dimana masih diterapkannya hukum adat dan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat.
Selanjutnya, Irfan menambahkan pada masa reformasi, barulah wacana untuk membentuk lembaga yang dapat menguji undang-undang digulirkan. Dari sini akhirnya terbentuklah MK melalui amendemen ketiga UUD 1945. Irfan menjelaskan kewenangan menguji undang-undang hendak diserahkan pada Mahkamah Agung (MA) pada awalnya. Akan tetapi, MA memiliki banyak kewenangan. “Dengan penambahan kewenangan, ditakutkan MA tak akan optimal menjalankan peran barunya. Selain itu tingkat kepercayaan masyarakat ke MA saat itu tidak kuat,” jelasnya.
Menurut Irfan, hal ini yang melatarbelakangi dibentuk lembaga baru, yakni Mahkamah Konstitusi. Ia juga memaparkan mengenai empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki MK. Kewenangan MK, antara lain menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
Selain itu, Irfan menjelaskan mengenai perbedaan mendasar antara MK dengan MA. Lembaga ini menguji masalah norma dan bukan kasus konkret. Sedangkan MA mengadili kasus konkret. Di sisi lain, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan banding maupun kasasi seperti di MA.
Usai diskusi, peserta kunjungan melanjutkan kunjungan ke Pusat Konstitusi (Puskon) untuk melihat sejarah konstitusi Indonesia. (ARS/LA)