Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (21/2) siang. Sidang dengan nomor perkara 12/PUU-XVI/2018 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Pegawai BUMN PT. PLN (Persero) menguji Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN yang menyebutkan, “Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai : a. perubahan jumlah modal; b. perubahan anggaran dasar; d. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero; g. pembentukan anak perusahaan atau penyertaan; h. pengalihan aktiva.”
Kuasa hukum Pemohon Edy Supriyanto Saputro mendalilkan bila PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas adalah salah satu perangkat untuk memprivatisasi BUMN tanpa terkecuali. Menurut Pemohon, BUMN yang produksinya menyangkut orang banyak akan diprivatisasi seperti yang tertuang dalam PP Nomor 39 Tahun 2014 tentang “daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang penanaman modal”. Pembangkit listrik, transmisi tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik swasta dapat memiliki saham hingga 95-100%, yang akan menghilangkan fungsi negara untuk menguasai cabang produksi yang penting bagi Negara yang menyangkut hidup orang banyak.
Pemohon beranggapan, adanya Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN, pemerintah yang diwakili menteri bertindak selaku pemegang saham dapat mengubah Anggaran Dasar (AD) perseroan, meliputi unsur penggabungan, peleburan dan pengalihan aktiva, perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, pengambilalihan dan pemisahan tanpa pengawasan dari DPR.
“Berlakunya Undang-Undang BUMN tersebut akan menyebabkan hilangnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak karena beralihnya BUMN menjadi swasta tanpa pengawasan dari DPR. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadi pemutusan hubungan kerja pada pegawai BUMN,” ujar Edy Supriyato Saputro.
Selain itu, sambung Edy, hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh oknum pemangku kepentingan untuk kepentingan pribadi atau golongan pada perseroan yang mengelola sumber kekayaan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pada prinsipnya dikuasai oleh negara. Seperti diamanahkan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
“Dengan hilangnya fungsi pengawasan dari DPR, Pemohon berkeyakinan BUMN akan diubah menjadi swasta dengan melalui privatisasi tanpa melalui pembahasan dengan DPR,” ungkap Edy.
Uraian Kerugian
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menasehati Pemohon agar menguraikan lebih detail kerugian-kerugian hak konstitusional yang dialami Pemohon. ”Selain itu Pemohon juga harus lebih memperjelas kedudukan hukum Pemohon,” kata Palguna.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul lebih mencermati formasi dan sistematika permohonan Pemohon agar ditata lebih baik lagi dengan mempelajari sistematika permohonan yang sudah dibuat Pemohon-Pemohon dalam bersidang di MK. Sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan Pemohon agar lebih mempertajam permohonan. (Nano Tresna Arfana/LA)