Sebanyak 28 Mahasiswa Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) dari UKM Penelitian KSP Principium berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (21/2). Dalam kunjungan tersebut, terdapat diskusi terkait eksistensi MK yang dipandang menarik oleh publik.
Peneliti MK Bisariyadi selaku perwakilan MK yang menyambut peserta kunjungan, menyebut Mahkamah Konstitusi tak bisa dilepaskan stigmanya sebagai produk dari reformasi. Di sisi lain, MK banyak dipandang khalayak luas sebagai lembaga yang kuat dan independen di umurnya yang masih muda. MK, lanjutnya, juga semakin menarik di mata publik setelah meningkatnya minat di masyarakat untuk mendalami hukum tata negara. “Dulu sebelum reformasi, jurusan hukum tata negara sangat sepi peminat. Namun memasuki era reformasi, terjadi peningkatan signifikan orang-orang untuk belajar hukum tata negara,” jelasnya.
Bisar melanjutkan ada kondisi berbeda hukum tata negara di masa orde baru dan di masa reformasi. Saat orde baru, hukum tata negara memiliki ruang lingkup yang kaku dan sangat positivistik. Sedangkan, memasuki era reformasi, hukum tata negara sangat dinamis dan amat beririsan dengan area politik. “MK dengan ruang lingkup hukum tata negara tidak dapat dipisahkan. Sehingga meningkatnya minat belajar hukum tata negara berkorelasi juga dengan semakin meleknya publik pada eksistensi MK,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Bisar, pasca reformasi, warga negara makin sadar dengan hak konstitusionalnya dan MK menjadi tempat satu-satunya untuk memperjuangkan hak tersebut. Menurut Bisar, akhirnya menjadi pusat perhatian khalayak umum hingga kini. “Publik menjadi sadar bahwa MK punya peran penting dalam konteks ketatanegaraan Indonesia,” tegasnya.
Bisar mencontohkan beberapa perkara yang cukup fenomenal di MK, kemudian dikabulkan MK. Hal ini mengindikasikan warga negara biasa dapat membatalkan undang-undang yang dibuat oleh DPR beserta pemerintah. Bisar mencontohkan seorang petugas pengaman mengajukan permohonan terkait uang pesangon setelah PHK dan dikabulkan oleh MK. Ia menyebut hal ini sebagai simbol MK menjadi tumpuan warga negara untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya.
Selain tema di atas, diskusi juga menyinggung tentang pengawasan MK yang tidak dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Saat ini, jelas Bisar, peran pengawasan sudah dilakukan oleh Dewan Etik berada dalam sistem internal yang ada di MK. Dewan Etik mengawasi tingkah laku dan perilaku hakim mengacu pada kode etik yang ada. Bisar menyebut awalnya KY turut mengawasi hakim MK. Namun pada 2006, putusan MK menyebut KY tak dapat mengawasi hakim MK. (ARS/LA)