Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dimohonkan Mantan Ketua DPR Setya Novanto tidak dapat diterima. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (21/2) siang.
Pemohon Perkara Nomor 95/PUU-XV/2017 menghendaki agar pemberlakuan Pasal 46 ayat (1) UU KPK tidak dapat diterapkan terhadap diri Pemohon. Hal tersebut karena Pemohon adalah seorang Ketua/anggota DPR yang harus diberi perlindungan ketika menggunakan haknya yang merupakan implementasi di dalam menjalankan fungsinya sebagai Ketua/anggota DPR, yaitu hak mengajukan pertanyaaan, hak mengajukan usul dan pendapat serta hak imunitas. Oleh karena itu, Pemohon tidak serta-merta dapat diterapkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) UU KPK, khususnya di dalam pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan tanpa ada persetujuan dari Presiden dan mohon kepada Mahkamah agar pasal a quo tidak berlaku terhadap anggota DPR dalam perkara tindak pidana korupsi tanpa ada persetujuan dari Presiden.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menilai argumentasi Pemohon tidak beralasan. Sesuai fakta, lanjutnya, di persidangan, pemanggilan dan permintaan keterangan oleh KPK terhadap Pemohon adalah terkait dengan penyidikan perkara dugaan adanya tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis nomor induk kependudukan secara elektronik (e-KTP) untuk Tahun Anggaran 2011-2012. Hal tersebut, menurut Mahkamah, masuk dalam ruang lingkup tindak pidana khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 245 ayat (3) huruf c UU Nomor 17/2014. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak ada persoalan konstitusionalitas norma terhadap Pasal 46 ayat (1) UU KPK.
“Dengan uraian pertimbangan tersebut, oleh karena tidak ada persoalan konstitusional terhadap norma Pasal 46 ayat (1) UU KPK. Dengan demikian, dalil Pemohon yang merasa atau setidak-tidaknya menganggap dirinya mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal a quo sesungguhnya tidak terjadi. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pendapat Mahkamah.
Kehilangan Relevansi
Sementara terhadap permohonan Perkara Nomor 96/PUU-XV/2017 yang juga dimohonkan Setya Novanto, Mahkamah menyatakan tidak dapat diterima. Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah mendapatkan fakta saat dilakukan pencegahan bepergian ke luar negeri berdasarkan permintaan KPK pada 10 April 2017, status Pemohon belum menjadi tersangka yang sedang menjalani proses penyidikan. Demikian pula saat adanya permintaan pencegahan ke luar negeri berdasarkan permintaan KPK pada 3 Oktober 2017.
Sehingga menurut Mahkamah, sambung Saldi, ketika itu Pemohon dapat mendalilkan dengan anggapan telah mengalami kerugian konstitusional akibat ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf b UU UU KPK. Namun demikian, setelah Mahkamah membaca dengan cermat permohonan Pemohon, ternyata permohonan Pemohon diajukan setelah status Pemohon menjadi tersangka. Bahkan saat ini telah berstatus menjadi terdakwa yang sedang menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pemohon telah kehilangan relevansinya untuk mempermasalahkan adanya anggapan telah mengalami kerugian konstitusional terhadap ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU KPK.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum selaku Pemohon dalam pengujian undang-undang a quo,” tandas Saldi. (Nano Tresna Arfana/LA)