Permohonan uji Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang diajukan karyawan kontrak Bank Rakyat Indonesia (BRI) Desy Puspita Sari, akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat yang didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (21/2) siang.
Pemohon mendalilkan frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), frasa “moral dan kesusilaan” dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b, dan frasa “perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama” dalam Pasal 86 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Pemohon, norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo tidak memberi kepastian hukum sehingga berdampak terhadap kelangsungan pekerjaan Pemohon. Pemohon menilai frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan memberi ruang ketidakpastian penafsiran yang dijadikan cara efektif bagi pengusaha untuk mengikat hubungan kerja setiap pekerjanya dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) meski pekerjaannya bersifat tetap, bahkan melampaui batas maksimum. Hal itu karena tidak adanya sanksi, dalam hal ini sanksi pidana, bagi pentaatan norma dimaksud.
Sedangkan terkait Pasal 86 ayat (1) huruf b dan huruf c UU Ketenagakerjaan, Pemohon mendalilkan pasal a quo hanya mengatur norma dan tidak pernah mengatur tentang sanksi yang merupakan kekuatan mengikat dari suatu norma hukum. Selanjutnya Pemohon menjelaskan peristiwa konkrit yang dialaminya, yaitu berupa dugaan pelecehan seksual terhadap Pemohon yang dilakukan oleh pimpinan tempat Pemohon bekerja saat itu. Terhadap peristiwa tersebut, meskipun sudah dilaporkan kepada manajemen PT Bank BRI (persero) Cabang Bukit Tinggi, tidak ada tindakan hukum atau sanksi yang dijatuhkan maupun klarifikasi terhadap peristiwa itu.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi I Dewa Palguna, Mahkamah berpendapat bahwa norma undang-undang a quo justru menegaskan perlindungan terhadap hak-hak pekerja atau buruh. Pasal 88 ayat (1) UU No. 13/2003 menyatakan dengan tegas dan jelas, “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”. Oleh karena itu, sambung Palguna, tidak dapat diterima oleh nalar jika norma a quo yang hendak memberikan perlindungan atas hak-hak pekerja justru didalilkan bertentangan dengan Konstitusi.
“Sebab secara a contrario, dengan mendalilkan norma yang termuat dalam Pasal 86 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, berarti Pemohon tidak menghendaki adanya perlindungan atas hak-hak dimaksud. Padahal hak-hak tersebut, khususnya hak atas perlindungan moral dan kesusilaan serta hak atas perlakuan yang sesuai harkat dan martabat manusia maupun nilai agama, justru merupakan hak-hak mendasar yang harus dilindungi, bukan hanya dalam konteks hubungan kerja tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari,” papar Palguna membacakan Putusan Perkara Nomor 100/PUU-XVI/2017.
Palguna menambahkan Mahkamah berpendapat, adanya peristiwa konkret berupa dugaan pelecehan seksual yang dialami Pemohon, jika benar terjadi adalah bukti pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, namun bukan bukti inkonstitusionalnya norma undang-undang a quo. Tidak adanya sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual adalah persoalan penerapan norma undang-undang yang sepenuhnya merupakan kewenangan aparat penegak hukum karena telah menyangkut persoalan pidana.
Menurut Mahkamah, sambung Palguna, persoalan efektivitas norma undang-undang harus dibedakan dengan persoalan konstitusionalitas norma undang-undang. Tidak efektifnya suatu norma undang-undang tidak serta-merta berarti norma undang-undang itu bertentangan dengan Konstitusi. Dalam konteks permohonan a quo, jika Pemohon berpendapat bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tidak efektif karena tidak ada sanksi, menurut Mahkamah, hal itu merupakan kewenangan penuh pembentuk undang-undang untuk menilainya. Mahkamah tidak berwenang merumuskan atau menambahkan sanksi tertentu terhadap norma undang-undang yang diuji konstitusionalitasnya.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam norma UU Nomor 13 Tahun 2003 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo. Sehingga Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Palguna. (Nano Tresna Arfana/LA)