Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pada sidang perdana yang digelar Selasa (5/2) pagi, hadir langsung dalam persidangan Ketua BPK Anwar Nasution didampingi oleh kuasa hukum BPK Bambang Widjojanto, S.H., L.LM., dan Iskandar Sonhadji, S.H. Sementara hadir pula mewakili Pemerintah adalah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati didampingi Sekretaris Jenderal Depkeu Mulia P. Nasution dan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution. Sedangkan DPR diwakili oleh Patrialis Akbar dan mantan Ketua Panja RUU KUP DPR RI Rizal Jalil.
Dalam persidangan tersebut, Anwar Nasution mengatakan alasan BPK mengajukan pengujian ketentuan yang ada dalam Pasal 34 Ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 Ayat (2a) UU KUP karena ketentuan tersebut telah membatasi kewenangan konstitusional BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara secara bebas dan mandiri sebagaimana diatur dalam Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945. Akibat ketentuan tersebut, kata Anwar, BPK tidak dapat leluasa melakukan audit terhadap penerimaan negara yang berasal dari pajak karena pejabat pajak dan atau tenaga ahli di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak hanya dapat memberikan keterangan kepada auditor BPK setelah mendapat penetapan oleh Menteri Keuangan.
âTujuan tunggal pendirian BPK itu adalah untuk memeriksa setiap sen uang yang dipungut oleh negara, dari manapun sumbernya, di manapun disimpan dan untuk apapun dipergunakanâ, tegas Anwar. Dengan ditiadakannya akses langsung kepada informasi perpajakan, lanjut Ketua BPK yang juga mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia ini, BPK tidak dapat memeriksa keuangan negara yang berasal dari pajak. Akibat keterbatasan informasi tersebut berimbas pula pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) secara keseluruhan.
Sebagaimana diketahui, selama tiga tahun berturut-turut LKPP mendapatkan opini disclaimer dari BPK. âKarena tidak memiliki informasi, BPK tidak mungkin dapat memberikan opini, temuan, kesimpulan dan rekomendasi hasil pemeriksaan. Akibatnya, selama tiga tahun berturut-turut, LKPP tahun anggaran 2004-2006, selalu mendapatkan opini disclaimer dari BPK,â imbuh Anwar.
Sementara kuasa hukum BPK Bambang Widjojanto saat menjelaskan konstruksi hukum permohonan mengatakan Pasal 34 Ayat (2a) huruf b UU a quo yang membolehkan para pejabat pajak dan/atau tenaga ahli untuk dapat memberikan keterangan dan/atau dokumen kepada lembaga negara dan instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan di bidang keuangan negara. Namun Pasal tersebut menurut tafsir Pemohon, sekaligus juga memberikan pembatasan bahwa pejabat dan/atau tenaga ahli yang dapat memberikan keterangan tersebut adalah hanya yang âditetapkan Menteri Keuanganâ. Sehingga menurut Bambang, adanya pembatasan berupa penetapan Menteri Keuangan tentang pejabat dan/atau tenaga ahli yang dapat memberikan keterangan telah membuat norma pengecualian tersebut menjadi tidak ada artinya sama sekali.
Bambang juga menambahkan, akibat pembatasan tersebut, selama ini informasi yang diberikan kepada auditor BPK sangat terbatas. âApabila dibaca baik-baik penjelasan Pasal 34 Ayat (2a), di situ disebutkan bahwa tidak semua data atau keterangan dapat diberikan kepada BPK, karena hanya keterangan tentang identitas wajib pajak, informasi yang bersifat umum tentang perpajakan,â terangnya.
Menkeu Sri Mulyani, yang sedianya akan memberikan keterangan sebagai salah satu pihak pembuat undang-undang, meminta Majelis Hakim Konstitusi untuk menetapkan penjadwalan ulang sidang untuk mendengarkan keterangan Pemerintah.
âDengan terjadinya hal-hal yang kurang lazim baik dalam tata urutan waktu maupun perubahan Pemohon dan isi permohonan pengujian dan mengingat sangat pentingnya materi yang disidangkan maka tidak memungkinkan Pemerintah untuk mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan pada persidangan tanggal 5 Februari 2008 (hari ini)â, ujar Sri Mulyani beralasan.
Permintaan yang sama juga dimohonkan oleh kuasa hukum DPR RI Patrialis Akbar. Namun demikian, anggota Komisi III DPR ini juga mengingatkan kepada Pemohon bahwasanya prinsip dasar Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 adalah memberikan penekanan bahwa yang bebas dan mandiri itu adalah kelembagaan BPK, jadi bukan cara kerja lembaga BPK. âKami melihat rumusan itu (Pasal 34 Ayat (2a) huruf b UU KUP) lebih mengarah kepada cara kerja yang bebas dan mandiri,â kata Patrialis.
Lebih lanjut menurut politisi Partai Amanat Nasional ini, ketentuan rumusan yang dimintakan pengujian tersebut sebetulnya bukan membatasi BPK, melainkan justru dimaksudkan untuk memberikan isyarat kepada menteri keuangan, khususnya di dalam Direktorat Jenderal Pajak, agar menetapkan pejabat yang berkompeten sehingga dapat membantu kinerja BPK. âJadi kinerja BPK akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik,â imbuhnya.
Atas permintaan dari Pemerintah dan DPR tersebut, Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Jimly Asshiddiqie menetapkan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR baru akan dilakukan pada sidang berikutnya.
Pengadilan Norma
Pada kesempatan sidang tersebut, Ketua MK mengingatkan kepada semua pihak, baik Pemohon, Pemerintah, maupun DPR, bahwasanya MK merupakan lembaga peradilan yang mengadili norma dalam undang-undang, bukan orang per orang. Ketua MK juga menghargai langkah yang diambil BPK dalam upaya menyelesaikan perbedaan penafsiran terhadap suatu undang-undang.
âKita ini punya kesempatan yang terlalu sedikit untuk berdebat. Kita biasanya berdebat di koran saja, ya tidak ketemu. Masing-masing bicara dengan persepsinya sendiri, koran juga punya persepsinya sendiri juga. Jadi saya rasa baik juga kita memanfaatkan forum Mahkamah Konstitusi ini untuk memperdebatkan norma undang-undang yang kita persoalkan ini karena ini menyangkut kepentingan kita semua sebagai bangsa dan negara. Jadi tidak ada masalah pribadi di sini,â ujar Jimly mengingatkan. [ardli]