Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Pasal 9 ayat (2a), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3) huruf c UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan Pasal 9 ayat (9) UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPNBM), pada Selasa (20/2). Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 10/PUU-XIV/2018 ini diajukan oleh PT. Harapan Sinar Abadi, dalam hal ini diwakili oleh Henny Victoria selaku Direktur Utama.
Pasal 9 ayat (2a) UU KUP menyatakan:
“Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”.
Pasal 13 ayat (1) UU KUP menyatakan:
“Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut: a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran …”
Pasal 9 ayat (9) UU PPNBM menyatakan:
“Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belumdilakukan pemeriksaan.”
Henny yang hadir tanpa diwakili oleh kuasa hukum, mendalilkan ketiga pasal tersebut merugikan perusahaan pengadaan alat-alat kesehatan yang dipimpinnya. Ia menganggap keberlakuan pasal tersebut menyebabkan Pemohon mengalami kerugian dan ketidakadilan. Pasal 9 ayat (2a) UU KUP mengatur tentang sanksi denda bagi keterlambatan pembayaran pajak penghasilan. Sedangkan Pasal 13 UU KUP mengatur tentang kewenangan Dirjen Pajak dalam jangka waktu 5 tahun dapat menetapkan pajak kurang serta sanksi dendanya. Sementara Pasal 9 ayat (9) UU PPNBM mengatur tentang jangka waktu setelah 3 bulan bagi pajak yang lebih bayar.
Menurut Pemohon, ketiga ketentuan tersebut telah menghilangkan hak Pemohon untuk menuntut pengajuan kembali kelebihan pembayaran pajak. Sementara negara dapat menuntut pembayaran kurang bayar pajak. Seharusnya keterlambatan Pemohon membayar pajak memberikan keuntungan pada pihak negara atas hak Pemohon yang belum dibayarkan menjadi simpanan kas negara. Lebih sesuai bila wajib pajak dikenakan denda atas keterlambatan ini, misalnya dikreditkan lebih dari 1 tahun (tidak 3 bulan). Sanksi administrasi sebesar 1% (satu persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo satu tahun faktur yang diajukan sampai dengan tanggal pengajuan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, paling lama 24 bulan.
“Dengan diterapkan pasal-pasal yang diujikan tersebut, Pemohon merasa dirugikan dan mengalami kerugian. Pemohon seolah-olah membayar 3 kali PPN, yang seharusnya Pemohon membayar 1 kali nilai PPN. Semua rekening Pemohon telah diblokir dan dipindahkan ke kas negara, kemudian mereka menyita 1 unit kendaraan yaitu Honda City tahun 2002 dan KPP telah menerbitkan SKPKB sebagai bunga juga. Karena Pemohon tidak mampu membayar atas nilai PPN lebih bayar dan sanksi administrasi, dengan demikian semakin besar tagihan atas SKPKB,” papar Henny di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna tersebut.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Palguna menilai permohonan Pemohon merupakan peristiwa konkret, seperti permohonan banding pajak. “Padahal permohonan semestinya pengujian undang-undang. Dalam kedudukan hukum, Pemohon mesti menguraikan apa hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Tapi hal itu tidak nampak dalam permohonan ini,” kata Palguna. Selain itu Palguna menyarankan Pemohon agar memberi argumentasi kalau pasal-pasal yang diuji dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menasehati Pemohon agar didampingi kuasa hukum dalam bersidang di MK. “Saya ingin menambahkan apa yang telah disampaikan Yang Mulia Hakim Konstitusi Palguna. Sebaiknya Saudara berkonsultasi dengan orang yang mengerti hukum. Khususnya Hukum Acara MK,” ujarnya.
Wahiduddin juga menyoroti ilustrasi kasus konkret dalam permohonan Pemohon. Namun ia menilai tidak terlihat ada hubungan sebab akibat dari kasus konkret itu dengan kerugian yang dialami Pemohon. (ARS/LA)