Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Luthfi Widagdo Eddyono menerima 22 mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Pakuan Bogor pada Rabu (14/2) siang di Ruang Konferensi Gedung MK.
Di awal, Luthfi menjelaskan mengenai amendemen UUD 1945 yang menyebabkan pertambahan norma dalam UUD 1945 hampir 300 persen. “Pertambahan norma yang cukup penting pada Perubahan Ketiga UUD 1945 bisa kita lihat dengan menambahkan dua lembaga baru, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial,” kata Luthfi.
Dikatakan Luthfi, terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia dilatarbelakangi perubahan konstruksi dalam UUD 1945. “Kalau dulu kita mengetahui bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara dan yang menafsirkan Konstitusi. Tetapi pasca-Perubahan UUD 1945, MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi bagian dari lembaga negara. Artinya, ketika MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, harus ada lembaga yang bisa menafsirkan Konstitusi. Karena itu berdasarkan pengalaman di banyak negara yang sudah melakukan transisi demokrasi. Dari yang otoritarian menjadi demokrasi yang substantif, maka kemudian dibuatlah lembaga yang namanya Mahkamah Konstitusi,” tambah Luthfi.
Mahkamah Konstitusi itu sendiri dalam perdebatannya dari perubahan pertama hingga ketiga memang cukup dilematis. Fungsi Mahkamah Konstitusi, lanjutnya, tadinya diberikan ke Mahkamah Agung. Namun kemudian dalam pembahasan, ada penolakan karena jumlah perkara di Mahkamah Agung sudah terlalu banyak, maka sebaiknya dibuat Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang tersendiri dari Mahkamah Agung.
Luthfi melanjutkan, dalam menjalankan tugasnya MK diberikan empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD. “Dalam konstruksi akademi, ada 3 model pengujian undang-undang. Pertama adalah model judicial preview seperti diterapkan di Perancis. Sebelum undang-undang disahkan harus konsultasi dulu ke Dewan Konstitusi, barulah bisa disahkan menjadi undang-undang,” ungkap Luthfi.
Kemudian ada model judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung seperti diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya, model ketiga seperti diterapkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) sebagai lembaga peradilan konstitusi yang terpisah dari Mahkamah Agung dan berdiri sendiri. “Seperti kebanyakan di negara-negara Eropa, misalnya Jerman. MKRI merupakan MK ke-78 di dunia yang terbentuk. Negara-negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi, selain memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD, mereka punya kewenangan constitutional complaint dan constitutional question,” ujar Luthfi.
Khusus di Indonesia, Luthfi menyebut Mahkamah Konstitusi mengadopsi konsep pengujian undang-undang (judicial review), tetapi tidak mengadopsi konsep constitutional complaint dan constitutional question.
Berikutnya, MKRI punya kewenangan memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara maupun pembubaran partai politik. Di samping itu, MKRI berwenang memutus perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif. Ia juga memaparkan tentang penanganan perkara perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah.
“Awalnya MK tidak punya kewenangan menangani sengketa Pilkada, tetapi dimiliki Mahkamah Agung. Kemudian dengan banyak pertimbangan, pembentuk undang-undang menganggap Mahkamah Konstitusilah yang bisa diberikan sebagai lembaga yang memutus sengketa Pilkada,” kata Luthfi. (Nano Tresna Arfana/LA)