Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Senin (19/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon yang berprofesi sebagai advokat mengajukan uji materiil Pasal 21 UU Tipikor, terbagi dimohonkan oleh Khaeruddin (Nomor 7/PUU-XVI/2018 ) serta Barisan Advokat Bersatu (Nomor 8/PUU-XVI/2018). Sidang perbaikan permohonan ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Aswanto.
Khaeruddin selaku Pemohon perkara Nomor 7/PUU-XVI/2018 menyampaikan sejumlah perbaikan yang telah dilakukan, di antaranya penambahan Pemohon. Pemohon baru, yakni Krisna Murti juga berprofesi sebagai advokat serta Ketua Jaringan Advokat Republik Indonesia. Di samping itu, Pemohon juga menambahkan contoh kasus selain dari yang dialami Frederich Yunadi. Pemohon menyebutkan akibat berlakunya Pasal 21 UU Tipikor, ada pula kasus serupa yang dialami advokat lain, yakni Manatap Ambarita yang merupakan kuasa hukum tersangka kasus korupsi Penyalahgunaan Sisa Anggaran Tahun 2005 pada Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil)Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat. “Jadi, kami menambahkan contoh kasus yang juga dialami para advokat lain,” ujar Khaeruddin.
Selanjutnya, Khaeruddin juga menjabarkan bahwa pihaknya juga menambahkan Petitum dengan menyatakan Pasal 21 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khusus advokat melalui dewan kehormatan profesi advokat terlebih dahulu.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon Perkara Nomor 7/PUU-XVI/2018 menegaskan UU Tipikor tidak memiliki tolok ukur dan multitafsir. Hal ini dikarenakan tidak adanya keseragaman pemaknaan yang jelas lagi pasti terkait tolok ukur seorang advokat dalam melakukan pembelaan kepada klien, khususnya terhadap proses penyidikan yang sedang berjalan. Selain itu, pasal a quomembuat profesi advokat terbelenggu guna menegakkan hukum dan keadilan kendati memiliki niat yang mulia untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Cabut Permohonan
Sementara itu, Victor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 8/PUU-XVI/2018, memutuskan untuk mencabut permohonan karena dikhawatirkan mutatis mutandis dengan Perkara Nomor 7/PUU-XVI/2018. Dalam keterangannya, Victor menyebutkan pencabutan dilakukan mengingat berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi, dikarenakan pasal yang diajukan sama persis dengan Pemohon Perkara 7, maka Mahkamah akan memutus nomor urut yang paling awal, dan nomor selanjutnya akan dianggap tidak diterima.
“Untuk kepentingan bersama, yakni bagi advokat seluruh Indonesia, jadi kami memutuskan mencabut permohonan dan menyerahkan pada Perkara Nomor 7/PUU-XVI/2018 agar konsentrasi tidak pecah serta menyerahkan tanggung jawab besar ini pada rekan kami,” tandas Victor. (Sri Pujianti/LA)