Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku (UU Kota Tual) terhadap UUD 1945, Rabu (30/01). Para Pemohon yang mengatasnamakan sebagai Persatuan Masyarakat Adat (Rat/Orangkay) Kei (Nuhu Evav) melalui kuasa hukumnya, H. Supriyanto Refa, S.H., M.H., menganggap UU Kota Tual tersebut baik formil maupun materiilnya bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1), Pasal 18B Ayat (2), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945. Pemohon merasa dengan berlakunya UU Kota Tual tersebut juga telah merugikan hak konstitusional para Pemohon, karena undang-undang tersebut pembentukannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Pemohon juga beralasan bahwa pembentukan Kota Tual tidak melalui persetujuan dari Bupati Kabupaten Maluku Tenggara dan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara. Selain itu, dalam proses pemekaran Kabupaten Maluku Tenggara dan pembentukan Kota Tual juga sebelumya tidak dilakukan penjaringan aspirasi masyarakat Kabupaten Maluku Tenggara secara keseluruhan. Adanya persetujuan Gubernur Provinsi Maluku atas proses tersebut, menurut Pemohon tidak didasarkan atas hasil penelitian daerah yang dilakukan oleh Tim Khusus.
Menanggapi permohonan tersebut, Gubernur Provinsi Maluku Karel Albert Relahalu yang hadir langsung dalam persidangan sebagai Pihak Terkait mengatakan bahwa sejak Tahun 1997 berdasarkan aspirasi masyarakat, pemerintah provinsi Maluku telah menetapkan Blue Print (cetak biru) program jangka menengah pemekaran wilayah, berdasarkan hasil rapat pimpinan DPRD Tingkat I Provinsi Maluku. Menurut Karel, salah satu program dalam blue print tersebut termasuk di dalamnya rencana pembentukan Kota Tual. Karel juga membantah apabila pembentukan Kota Tual dianggap tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat Kabupaten Maluku Tenggara. âBahkan, pembentukan Kota Tual juga didukung sepenuhnya oleh raja-raja di Maluku Tenggara. Karena pembentukan Kota Tual tersebut justru bertujuan untuk kemajuan daerah Maluku tenggara,â tegas Karel.
Senada dengan Karel, H. Mahmud Muhammad Tamher, Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tenggara, mengatakan mekanisme pembentukan Kota Tual telah berdasarkan mekanisme formal dan informal yang sesuai dengan ketentuan prosedur yang berlaku. Selain itu, lanjut Mahmud, masyarakat Kota Tual sendiri telah siap dengan adanya pemekaran, karena pemekaran tersebut tidak merubah maupun mengganggu adat istiadat yang ada. Mahmud juga mengatakan dari 19 tokoh adat di Maluku Tenggara, 15 orang menyatakan dukungan terhadap dilakukannya pemekaran dan terbentuknya Kota Tual. âDua orang tokoh adat yang mengajukan permohonan ini tidak representatif karena mereka bukan raja dan pimpinan,â sergah Mahmud.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Bupati Kabupaten Maluku Tenggara Herman Adrian Kudubun. Menurut Herman, pemekaran Kota Tual tidak dilaksanakan secara konsisten berdasarkan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Herman juga menilai studi kelayakan yang dilakukan oleh Gubernur Provinsi Maluku juga terkesan tergesa-gesa. Bahkan, menurut Herman hasil studi kelayakan tersebut juga tidak dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.
âAspirasi-aspirasi yang disampaikan masyakat kepada Bupati sebenarnya adalah aspirasi penolakan atas adanya pemekaran wilayah. Bahkan, konsep pemekaran yang pada awalnya ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun dalam kenyataannya tidak demikian,â ujar Herman membantah.
Pada akhir persidangan, Ketua Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie menawarkan kepada para pihak untuk mengajukan ahli, baik ahli mengenai hukum adat maupun mengenai otonomi daerah. âSupaya tidak terjadi perdebatan antara Gubernur dan Bupati, sebaiknya masing-masing pihak lebih baik menggunakan ahli dan saksi sebagai alat bukti, yang kemudian akan kita cross pembuktian dari ahli dan saksi yang diajukan oleh masing-masing pihak,â saran Jimly. (Andhini Sayu Fauzia)