Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar konferensi pers mengenai polemik pemberitaan di media massa terhadap Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017. Kepala Biro Humas dan Protokol MK Rubiyo bersama juru bicara MK Fajar Laksono menemui pers guna meluruskan pendapat yang beredar di masyarakat terkait putusan tersebut, Kamis (15/2) di Aula MK.
Rubiyo menjelaskan berkembangnya sejumlah pendapat di masyarakat terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUUXV/2017 yang diucapkan pada 8 Februari 2018 mengenai Pengujian Pasal 79 ayat (3) UU MD3, justru telah mengaburkan pemahaman terhadap putusan tersebut. Ia melanjutkan pendapat-pendapat tersebut bukan hanya mengaburkan, melainkan juga cenderung membuat pemahaman yang tidak tepat, membingungkan, atau bahkan bertentangan dengan esensi dan semangat putusan tersebut.
Sementara Fajar menambahkan, perbedaan pemahaman pada tataran tertentu merupakan hal yang wajar dan dapat ditoleransi. Namun, jika perbedaan menimbulkan kerancuan atau pemahaman yang tidak tepat, terlebih lagi menyangkut putusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan konstitusi, penafsir akhir konstitusi, maka hal tersebut tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. “Untuk itu, Mahkamah Konstitusi perlu menyampaikan pernyataan agar substansi putusan terjaga sesuai dengan esensi dan semangatnya,” terang Fajar.
Melengkapi Putusan
Kemudian, Fajar menerangkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 pada pokoknya menolak permohonan Pemohon menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 79 ayat (3) UU MD3 khususnya frasa “pelaksanaan suatu undang undang dan/atau kebijakan Pemerintah”. MK menolak permohonan Pemohon yang meminta kepada Mahkamah agar frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit termaktub dalam norma tersebut dan Penjelasannya, yakni hak angket hanya terbatas pada lingkup kekuasaan eksekutif.
Terhadap putusan tersebut, ada pendapat yang berkembang di masyarakat bahwa Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 bertentangan dengan putusan terdahulu. Putusan terdahulu yang dimaksud, antara lain Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2011, dan Putusan Nomor 49/PUU-XI/2013 14 November 2013. Fajar menegaskan dalam putusan-putusan terdahulu, MK tidak pernah memberikan pendapat hukum yang menyatakan KPK merupakan lembaga negara sebagai bagian pada ranah kekuasaan tertentu, baik legislatif, eksekutif, atau pun yudikatif. “Baru pada Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 inilah, Mahkamah menyatakan pendapat bahwa KPK merupakan lembaga negara yang berada di ranah kekuasaan eksekutif. Hal tersebut dapat dilacak dengan menelusuri ketiga putusan tersebut,” paparnya.
Dalam ketiga putusan tersebut, lanjut Fajar, Mahkamah menyatakan, KPK merupakan lembaga negara yang terkait atau melaksanakan sebagian fungsi kekuasaan kehakiman. Posisi KPK sebagai lembaga negara yang bukan termasuk dalam ranah kekuasaaan kehakiman, namun diberikan tugas, kewenangan, dan fungsi yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman. Sebelum Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, memang terdapat pemahaman KPK secara institusional dianggap berada di ranah kekuasaan kehakiman mengingat keberadaan ketentuan Pasal 53 UU KPK yang menyatakan pengadilan tipikor yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Dengan ketentuan tersebut, kompetensi Pengadilan Tipikor ditentukan oleh lembaga yang menuntut, yaitu KPK. Dalam hal ini, Pengadilan Tipikor dirancang diletakkan dalam wilayah berkiprahnya kewibawaan KPK.
Fajar melanjutkan setelah Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Pasal 53 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara limitatif, yaitu tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan diucapkan. Artinya, lanjutnya, pengaturan mengenai pembentukan Pengadilan Tipikor harus dengan UU tersendiri, bukan di dalam UU KPK. Putusan tersebut mengukuhkan KPK sebagai lembaga negara di ranah eksekutif. “Dari penjelasan di atas, tidak terdapat dasar dan alasan untuk menyebut adanya pertentangan antara Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 dengan putusan Mahkamah sebelumnya. Justru, Putusan Nomor 36/PUUXV/2017 sangat sejalan dan melengkapi putusan sebelumnya,” tandasnya.
Hak Angket Dibatasi
Selain itu, Fajar pun memaparkan, pada dasarnya putusan tersebut dapat dikatakan bahwa MK menegaskan hak angket sebagai hak konstitusional DPR untuk melakukan fungsi pengawasan dapat dilaksanakan, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dalam hal ini merupakan kewenangan KPK. AKan tetapi, lanjutnya, sekaligus di sisi lain, Mahkamah menguatkan lembaga KPK, karena meskipun menjadi objek hak angket DPR, namun hak angket dibatasi bukan pada tugas dan kewenangan yudisial KPK, yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi.
“Tidak termaktub sedikitpun dalam Pendapat Mahkamah yang kemudian mengesankan bahwa putusan ini merupakan bentuk atau upaya pelemahan terhadap KPK. Dalam Pendapat Mahkamah justru ditegaskan berkali-kali mengenai KPK sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen, walaupun tidak boleh dimakna tidak tercakup dalam pengawasan, dalam hal ini oleh DPR sebagai wakil rakyat. Putusan ini sesungguhnya menegaskan penataan hubungan kelembagaan antara DPR dengan KPK yang dilandasi prinsip konstitusi dan sistem pemerintahan yang dibangun atas dasar paradigma checks and balances berdasarkan UUD 1945,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)
*) Untuk siaran pers lebih lengkap dapat dilihat pada tautan berikut: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/press/pdf/press_425_15.2.18%20press%20release%20putusan%20hak%20angket%20dpr.pdf