Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) pada Senin (12/2) siang terpaksa ditunda. Pihak DPR dan Pemerintah berhalangan hadir untuk memberikan keterangan dalam sidang Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018 tersebut.
“Agenda kita hari ini mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. DPR tidak hadir, maka satu-satunya adalah keterangan Presiden. Tapi ada surat yang ditandatangani oleh Ibu Tio, Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan yang menyatakan permohonan untuk pengunduran jadwal sidang karena Pemerintah belum siap menyampaikan keterangan di persidangan,” kata Ketua MK Arief Hidayat selaku Pimpinan Sidang.
Pihak Pemerintah yang diwakili Tio Serepina Siahaan meminta waktu selama dua minggu lagi untuk memberikan keterangan. Namun kuasa hukum Pemohon, Iqbal Tawakal Pasaribu meminta waktu satu minggu agar Pemerintah memberikan keterangan. “Kami mohon satu minggu saja supaya tidak terlalu lama dan berlarut-larut Yang Mulia,” ujar Iqbal.
Alhasil Majelis Hakim MK memutuskan sidang lanjutan pengujian UU LPS pada dua minggu mendatang. “Baik, kalau begitu sidang yang akan datang itu dua minggu dari sekarang. Tanggal 26 Februari 2018, pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden, sekaligus pemeriksaan ahli dan saksi yang diajukan oleh Pemohon,” imbuh Arief.
Sebagaimana diketahui, Lembaga Penjamin Simpanan selaku Pemohon menguji Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 81 ayat (3) serta Pasal 33 ayat (4) UU No. 24/2004. Pasal 6 ayat (1) huruf c menyebutkan, ”Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut: melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.” Sedangkan Pasal 81 ayat (3) berbunyi, ”LPS bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan semua asetnya.”
Pasal-pasal tersebut dinilai Pemohon tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Pasal tersebut juga dinilai bertentangan dengan prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip negara hukum adalah salah satunya adalah jaminan atas kepastian hukum.
Menurut Pemohon, LPS tidak bisa menolak pembayaran dari aset Bank Dalam Likuidasi (BDL) yang berupa piutang. Sebab jika menolak, LPS akan mengalami kerugian. Piutang tersebut menjadikan tetap hidupnya piutang lama beserta dengan bunga dan denda, apabila tidak dibayarkan dalam batas waktu tertentu. Karena hal ini akan mengakibatkan piutang menjadi bertambah dari nilai pokok dan bunga serta denda.
LPS mempunyai kewenangan melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap debitur bank sistemik dalam kondisi krisis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Sementara terhadap debitur bank nonsistemik tidak disebutkan kewenangan untuk hapus buku dan hapus tagih secara eksplisit dalam UU LPS, terutama Pasal 6 ayat (1) huruf c danPasal 81 ayat (3). (Nano Tresna Arfana/LA)