Larangan rangkap jabatan bagi pejabat publik dan struktural untuk menjadi ketua atau pengurus komite olahraga (KONI) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) telah membelah pendapat para ahli hukum dan hak asasi manusia. Hal tersebut terungkap dalam persidangan pengujian Pasal 40 UU SKN di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (31/1).
Pada sidang yang berlangsung selama hampir empat jam tersebut, dua kelompok ahli, baik yang diajukan oleh Pemohon maupun Pemerintah masing-masing bertahan dengan pendapatnya. Ahli Pemohon, Dr. Jhon Pieris, S.H., M.H. menilai rumusan dalam Pasal 40 UU SKN telah melanggar asas keadilan dalam penyusunan suatu undang-undang. Menurut Pieris, para penyusun UU SKN telah membuat kekeliruan dengan memunculkan inkonsistensi dalam penerapan hukum karena pada satu sisi, Pasal 40 melarang para pejabat publik dan struktural merangkap jabatan menjadi ketua atau pengurus KONI sedangkan pada sisi lain ketentuan tersebut tidak berlaku bagi para pejabat yang menjadi ketua atau pengurus induk cabang olahraga.
âPadahal, bila pejabat menjadi pengurus KONI, ia akan berlaku netral terhadap semua cabor (cabang olahraga). Justru bila diijinkan menjadi pengurus cabor, ia akan lebih mementingkan cabor tertentu saja,â tandas Pieris berargumentasi.
Hal senada disampaikan oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., ahli lain yang diajukan oleh Pemohon. Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini, berdasarkan Pasal 32 UU SKN, politik hukum yang diterapkan dalam UU SKN seakan menarik semua kewenangan pengelolaan dan pengembangan keolahragaan kepada pemerintah. Namun, lanjut Satya, Pasal 40 justru menegasikan politik hukum tersebut. Oleh karenanya, menurut Satya, harus dilakukan sinkronisasi penerapan norma baik pada UU SKN maupun pada sistem perundang-undangan secara keseluruhan.
âPasal 40 melarang rangkap jabatan pejabat publik untuk menjadi pengurus KONI, sementara di pasal lain larangan tersebut tidak berlaku bagi cabang olahraga. Dalam UU Partai Politik, pejabat publik juga tidak dilarang merangkap menjadi pengurus parpol,â terang Satya memberi contoh.
Pandangan berbeda dikemukakan oleh para ahli yang diajukan oleh Pemerintah. Prof. Drs. Toho Cholik Mutohir, M.A., Ph.D. Guru besar Universitas Negeri Surabaya ini menilai Pasal 40 UU SKN tidak membatasi hak pejabat publik dan struktural untuk berkiprah dalam dunia olahraga. Bahkan, menurut Toho, ketentuan tersebut justru membuka peluang bagi semua masyarakat untuk berpartisipasi dalam memajukan olahraga nasional. Toho juga menambahkan bila para pejabat merangkap menjadi pengurus KONI, maka akan menimbulkan kerancuan pertanggungjawaban dan konflik kepentingan. Selain itu, menurut Toho, pembatasan tersebut dilakukan mengingat tugas KONI adalah membantu pemerintah dalam pengelolaan dan pengembangan olahraga prestasi pada seluruh cabang olahraga sehingga membutuhkan tanggung jawab sepenuh waktu. âSedangkan bila menjadi pengurus cabang olahraga, hanya akan mengurus pada satu cabang saja, sehingga lebih ringan dan dapat fokus. Jadi tidak masalah,â jelasnya.
Ahli Pemerintah lain, Drs. Ramli Naibaho, M.Si., juga menegaskan perlunya pemisahan peran dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). âPemerintahan yang demokratis harus ada pemisahan peran untuk menciptakan check and balances, agar tercipta pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governanceâ, ungkap Deputi Kinerja dan Perundang-undangan Badan Kepegawaian Negara ini.
Sementara terkait isu hak asasi manusia, Pemohon menghadirkan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hesti Armiwulan. Menurut anggota Komnas HAM ini, apabila dikaitkan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945, Pasal 40 UU SKN memiliki kesan diskriminatif, tidak hanya bagi pejabat publik melainkan juga bagi dunia keolahragaan itu sendiri.
âPejabat publik bisa jadi ketua kwarda (Kwartir Daerah Gerakan Pramuka), Gerakan Anti Narkoba, pengurus parpol, dan lain-lain. Tapi justru undang-undang ini telah mendiskriminasi olahraga, karena melarang pejabat publik menjadi pengurus komite olahraga,â terang Hesti memberi alasan.
Keterangan berbeda diberikan oleh Prof. A. Masyur Effendi, ahli HAM yang diajukan oleh Pemerintah. Ahli yang juga Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM ini menerangkan bahwa persoalan HAM merupakan isu internasional sehingga penetapannya dilakukan melalui berbagai kovenan internasional. Oleh karena berlaku secara internasional, lanjut Masyur, maka bentuk-bentuk pembatasan yang dianggap diskriminasi adalah sama di seluruh dunia.
Lebih lanjut Masyur menjelaskan, untuk mengetahui ada tidaknya diskriminasi atas berlakunya suatu peraturan, harus dilihat dari aspek sosial dan dampak akibat pemberlakuan peraturan tersebut. âApakah setelah diberlakukannya Pasal 40 UU SKN tersebut, mengakibatkan Pemohon yang tidak bisa menjabat pengurus KONI menjadi terpangkas hak-haknya di bidang politik, sosial, ekonomi, sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya?â jelas Masyur setengah bertanya.
Selain mendengarkan keterangan para ahli, pada sidang tersebut juga didengarkan keterangan para saksi faktual baik dari Pemohon maupun Pemerintah. Hadir memberikan kesaksian para pejabat publik yang sempat menjadi pengurus KONI di daerahnya masing-masing antara lain Drs. Ansto Munandar Bupati Agam, Sumatera Barat, dan H. Mahfudz Ali, S.H., Wakil Wali Kota Semarang, serta Gus Irawan, S.E., Ketua KONI Sumatera Utara yang berasal dari kalangan profesional. Sementara Pemohon menghadirkan saksi faktual antara lain Gatot Suseno, Herman Rifai, Denny Tristianto, dan Ismail.
Turut pula memberikan keterangan mantan Ketua Panitia Kerja RUU SKN DPR RI, Anwar Arifin yang menceritakan proses penyusunan rancangan UU SKN. Anwar menceritakan semangat yang dibawa baik oleh DPR, Pemerintah, maupun KONI dalam penyusunan SKN saat itu adalah bahwa pengelolaan dan pengembangan olahraga nasional tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun berusaha melibatkan masyarakat secara luas. âSemangat itu yang kemudian dituangkan dalam Pasal 40 ini,â ujar Anwar mengisahkan.
Anwar juga menceritakan kendala-kendala yang ditemukan saat menyusun RUU SKN, terkait rangkap jabatan antara Ketua KONI dengan jabatan publik. âSaat melakukan kunjungan ke daerah dalam rangka penyerapan aspirasi untuk menyusun RUU SKN ini, kami tidak pernah bisa bertemu dengan Ketua KONI di daerah itu yang dijabat secara ex-officio oleh Gubernur, dengan alasan kesibukan sebagai gubernur,â keluhnya.
Perkara yang diregistrasi pada Selasa, 13 November 2007 dengan Nomor 27/PUU-V/2007 ini dimohonkan oleh Saleh Ismail Mukadar, S.H., Ketua Umum KONI Kota Surabaya sekaligus Ketua Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur yang menganggap Pasal 40 UU SKN bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Cabut Permohonan
Pada persidangan yang sama, salah seorang Pemohon pengujian UU SKN, yakni Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman, menyatakan menarik permohonannya. âGuna menghindari timbulnya polemik yang berkepanjangan dan demi kepentingan perkembangan serta kemajuan keolahragaan nasional dan daerah serta peningkatan peranan pemerintah dan masyarakat dalam pembinaan serta pendanaan olahraga di masa yang akan datang, Pemohon menyatakan mencabut permohonanâ jelas Umbu S. Samapaty, S.H., M.H., kuasa Pemohon.
Menanggapi hal tersebut, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon seraya mengingatkan bahwa Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian ketentuan tersebut. [ardli]