Beragam materi disampaikan para narasumber kegiatan “Bimbingan Teknis Penyelesaian Perkara Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Serentak Tahun 2018 Bagi Advokat se-Indonesia Angkatan III” pada 5-8 Februari di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua Bogor.
Hakim Konstitusi Aswanto menerangkan berbagai problem dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. “Saat ini menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa Bawaslu Kabupaten/Kota sudah bersifat permanen, bukan lagi adhoc. Kalau ada kasus yang ditangani Panwaslu, lalu kemudian memberi rekomendasi apakah sudah ditindak lanjuti KPU atau belum? Kemudian Panwaslu akan melakukan perubahan terhadap rekomendasinya, hal itu menjadi dasar untuk membawa Panwaslu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,” kata Aswanto.
Dikatakan Aswanto, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sangat tegas menangani kasus-kasus terkait Pilkada. Walaupun kadang ada masalah dalam putusan DKPP yang final dan binding. Aswanto menuturkan, beberapa tahun lalu ada pihak yang diberi sanksi oleh DKPP. “Karena putusan DKPP yang final dan binding, tidak bisa apa-apa. Mestinya yang dihukum ketua, tetapi yang dihukum anggota. Kenapa menghukum yang tidak salah? Akhirnya putusan itu diubah juga,” jelas Aswanto.
Berikutnya, Aswanto menyampaikan hal terkait peran kuasa hukum dalam Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. “Kalau Bapak mau menangani sengketa Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, jangan setelah selesai pemilihan. Mestinya dari awal, Bapak sudah masuk sebagai tim hukumnya. Kalau nanti sengketa sudah masuk, Bapak akan bingung,” imbuh Aswanto.
Hal lain, menurut Aswanto, pihak yang berperkara dalam sengketa pemilihan kepala daerah harus mencari saksi yang benar-benar kukuh dalam pendirian, tidak mudah dipengaruhi pendapat hakim atau alasan tertentu. “Kita melatih saksi untuk menyampaikan kebenaran,” tegas Aswanto yang memaparkan materi “Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur. Bupati dan Walikota”.
Model Judicial Review
Sementara itu, Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Pan Mohamad Faiz menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, di antaranya tentang model Judicial Review yang terbagi menjadi dua model. Pertama, Decentralised System (American System), yaitu terdesentralisasi di Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya. Negara-negara yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, Filipina, India, Filipina dan sebagainya. Selain itu, Centralised System (European System) yang terpusat di Mahkamah Konstitusi. Negara-negara yang menerapkan sistem ini adalah Jerman, Austria, Turki, Korea Selatan, Afrika Selatan, Thailand, Indonesia dan sebagainya. “Ini dua model besar mengenai sistem pengujian konstitusionalitas undang-undang,” ungkap Faiz.
Faiz melanjutkan, terjadi perkembangan di kampus-kampus bahwa untuk model yang pertama hanya undang-undang yang sudah disahkan dan diundangkan oleh parlemen dan DPR yang bisa diuji. Sedangkan model yang kedua, Centralised System khusus undang-undang yang belum disahkan. Artinya masih dalam bentuk draft atau rancangan boleh diuji.
“Model yang ketiga adalah sistem campuran. Undang-undang yang sudah diundangkan maupun yang belum diundangkan bisa diuji. Indonesia menganut sistem pengujian undang-undang setelah diundangkan,” kata Faiz.
Faiz juga menjelaskan sekilas sejarah Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pada 1945, Mohamad Yamin mengusulkan agar Balai Agung (Mahkamah Agung) diberikan kewenangan untuk membanding undang-undang kalau bertentangan dengan UUD, norma adat, norma agama dan lainnya. Namun usulan Yamin ditentang oleh Perumus Konnstitusi lainnya, Soepomo dengan beberapa alasan, misalnya Indonesia tidak menerapkan Trias Politica secara murni. Alasan lain, Indonesia belum banyak memiliki ahli hukum yang menguasai konsep pengujian undang-undang.
Kemudian pada 1959, ide pengujian undang-undang sudah disepakati di Dewan Konstituante, namun masih terjadi perdebatan. Karena deadlock, lanjut Faiz,Presiden Soekarno memutuskan untuk kembali ke UUD 1945. Baru pada 1970, Ikatan Hakim Indonesia juga mengusulkan perlunya lembaga pengujian undang-undang, tapi menemui hasil. Akhirnya setelah amendemen UUD 1945 muncul gagasan dibentuknya lembaga pengujian undang-undang hingga lahir MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003.
Sistem Pilkada Serentak
Berikutnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi yang menerangkan materi “Sistem Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2018”. “Sebagaimana kita ketahui bahwa penyelenggaran Pilkada pasca Pemilu 2014 itu diserentakkan. Kalau di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 masing-masing daerah menyelenggarakan Pilkada sendiri-sendiri sesuai akhir masa jabatan masing-masing daerah,” papar Pramono.
Kemudian dalam UU Pilkada disebutkan bahwa penyelenggaraan Pilkada diadakan serentak secara bergelombang, menjadi lima gelombang mulai dari 2015 sampai 2024. “Rencananya nanti diselenggarakan Pilkada secara serentak untuk seluruh Indonesia. Yang sudah kita laksanakan baru dua gelombang. Kita akan menghadapi gelombang ketiga pada 27 Juni 2018,” ucap Pramono.
Lain lagi, dengan Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo yang mengungkapkan materi “Sistem Pengawasan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota”. “Semesta pembicaraan ini berkaitan dengan Pasal 157 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perselisihan Hasil Penghitungan Suara untuk Pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,” kata Ratna.
Namun demikian, sambung Ratna, posisi Bawaslu berada pada proses untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilihan. “Apa yang menjadi kewenangan Bawaslu secara garis besar sebenarnya ada tiga yaitu tugas pengawasan, penanganan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa. Sengketa itu ada sengketa proses yang terjadi antara peserta dengan peserta, antara peserta dengan penyelenggara Pemilu,” urai Ratna.
Ditambahkan Ratna, UU Nomor 7/2017 telah mengalami perubahan yang sangat fundamental terhadap status lembaga Bawaslu. Khususnya Bawaslu yang berada di Kabupaten/Kota. “Secara hierarki, lembaga kami ini ada di tingkat nasional, yaitu Bawaslu. Kemudian Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan dan Desa, Panwaslu Luar Negeri dan Pengawas TPS,” tandas Ratna.
Dalam bimtek juga disampaikan materi “Mekanisme dan Tahapan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota” oleh Panitera MK Kasianur Sidauruk. Selanjutnya ada juga materi “Teknik Penyusunan Permohonan Pemohon, Keterangan Pihak Terkait dan Jawaban Termohon dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota” oleh Panitera Pengganti MK Cholidin Nasir.
Usai diberikan materi bimtek secara keseluruhan, para peserta bimtek melakukan praktik penyusunan permohonan Pemohon dan penyusunan keterangan pihak Terkait dan Jawaban Termohon dalam perkara Perselisihan Pilkada Serentak. (Nano Tresna Arfana/LA)