Ahli Sosiologi Universitas Ibnu Chaldun Musni Umar menegaskan perlunya Ahmadiyah melepaskan diri dari faktor eksklusivisme komunitas. Demikian disampaikan Umar yang dihadirkan sebagai Ahli dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/2).
Umar menilai ekslusivisme tersebut menjadi salah satu dari lima faktor yang membuat permasalahan Ahmadiyah tidak kunjung menemukan titik terang penyelesaian. Ahli Pihak Terkait tersebut menjelaskan bahwa sifat eksklusif ini dinilainya karena komunitas Ahmadiyah hidup hanya dengan komunitasnya dan tidak dengan seluruh masyarakat sehingga hal ini dalam hubungan sosial masyarakat sangat mudah menimbulkan kecurigaan.
Dalam sidang keempat belas perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 tersebut, Umar menyebutkan beberapa faktor memengaruhi ketiadaan penyelesaian masalah Ahmadiyah. Ia menyebut faktor teologis, kitab suci, masjid komunitas, dan tidak adanya penyelesaian masalah secara komprehensif menjadi hal yang membuat perbedaan antara Ahmadiyah serta masyarakat Indonesia yang didominasi Islam tak kunjung terurai. Berhubungan dengan tidak adanya penyelesaian masalah perbedaan Ahmadiyah secara komprehensif, Umar menjabarkan bahwa sejak 2009 hingga 2018 berbagai kalangan telah mengajukan permasalahan yang dihadapi Ahmadiyah.
“Akar masalah ini adalah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) yang lahir pada masa Demokrasi Terpimpin, tetapi UU ini masih sangat diperlukan keberadaannya untuk mencegah penodaan agama sebelum lahirnya UU yang baru,” tegas Umar.
Terkait faktor teologis, lanjut Umar, menyebutkan bahwa dalam kehidupan sosial, masyarakat menganggap Ahmadiyah sudah sesat sehingga mengharapkan pengikut Ahmadiyah kembali pada ajaran Islam atau masuk pada bagian bukan Islam atau meminta pemerintah membubarkan komunitas tersebut. Adapun terkait kitab suci, Umar menyebutkan dalam komunitas Ahmadiyah terdapat Kitab Tadzirah, sedangkan Islam memiliki Al Qur’an. Maka, menurut Umar, hal ini merupakan masalah yang mendorong terjadinya pertentangan.
“Adanya putusan dari Liga Islam Dunia dan Fatwa MUI yang menyatakan Ahmadiyah adalah sesat adalah bukan penyebab umat Islam melakukan kekerasan pada Ahmadiyah, tetapi lebih pada ghirah dari umat Islam yang bangkit karena keyakinan agama Islam yang diobok-obok,” jelas Umar.
Berikutnya, faktor adanya masjid komunitas yang dibangun hanya untuk komunitas Ahmadiyah, sejatinya diakui Umar bahwa masjid merupakan tempat ibadah bagi siapa saja dan tempat untuk melakukan aktivitas sosial. Namun, tidak demikian halnya dengan yang terjadi di lapangan atas aktivitas keagamaan tersebut.
Polemik di Masyarakat
Pada kesempatan yang sama, Mantan Ketua Bidang Produk Halal MUI Amidhan Shaberah dalam keterangannya menyampaikan terjadinya tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah, Amidhan menyampaikan telah ada usaha yang dilakukan sebelumnya oleh tokoh-tokoh Islam untuk mencari titik temu mengenai permasalahan Ahmadiyah.
“Islam bersepakat bahwa Ahmadiyah menyimpang dari ajaran agama Islam. Untuk itu, pemerintah harus hadir pada setiap gejala kekerasan yang menimpanyasehingga setiap individu bebas menjalankan ibadah dan kepercayaannya, tetapi perlu ditekankan bahwa negara memiliki berwenang pula untuk mengaturnya agar tidak menabrak kebebasan orang lain,” jelas Amidhan.
Pada akhir keterangan, Amidhan menyampaikan harapannya agar Ahmadiyah tetap berada dikelompoknya dan tidak mencoba menyebarkan ajarannya ke pihak lain dan negara senantiasa hadir pada setiap gejala kerawanan kekerasan yang menimpa Ahmadiyah. “Dengan demikian, tidak perlu mengubah UU yang telah ada karena bisa saja menimbulkan kegaduhan baru. Jadi, saya tetap berpendirian agar tidak ada perubahan UU a quo,” jelas Amidhan.
Pemohon merupakan penganut Ahmadiyah yang mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Dalam permohonannya, Pemohon menilai Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan Para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan Ahmadiyah merupakan aliran sesat. Akibatnya, para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang, bahkan ditindas haknya untuk beragama dan melaksanakan ibadah.
Adapun efek domino yang dirasakan penganut Ahmadiyah, di antaranya para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran para Pemohon dari lokasi tempat tinggal. Untuk itu, para Pemohon meminta pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai,dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum. (Sri Pujianti/LA)