Sidang uji materiil Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018 (UU APBN) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/2). Sidang kedua Perkara Nomor 5/PUU-XVI/2018 tersebut beragendakan mendengar perbaikan permohonan.
Kuasa Hukum Pemohon Ahmad Irawan menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Panel Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon memperbaiki kedudukan serta argumentasi permohonan. Menurut Pemohon, aturan pemotongan dan/atau penundaan pencairan APBN dalam Pasal 15 ayat (3) huruf d UU a quo bertentangan dengan Konstitusi.
“Pada intinya, kami mengatakan aturan itu melanggar Konstitusi jika dilakukan secara sewenang-wenang. Sehingga pada kesimpulan kami, Pasal 15 ayat (3) huruf d sepanjang frasa dapat dilakukan penundaan dan/atau pemotongan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) sehingga kami sampai pada petitum. Kami mohon kepada Hakim Konstitusi untuk menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya,” jelasnya di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna tersebut.
Selain itu, Pemohon menambahkan alat bukti berupa Putusan MK terkait pengujian UU APBN. “Kami muat di situ beberapa putusan hal mana Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian UU APBN. Itu yang kami jadikan referensi utama untuk menguatkan bahwa MK berwenang menguji Undang-Undang APBN,” ujarnya.
Pemohon yang tergabung dalam Gerakan G20 Mei merupakan perkumpulan warga Kabupaten Kutai Timur yang terdiri dari berbagai kalangan profesi. Dalam permohonannya, Pemohon mempermasalahkan pemotongan maupun penundaan anggaran oleh pemerintah pusat untuk pemerintah daerah.
Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN menyatakan,“Ketentuan mengenai penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa diatur sebagai berikut: d.dapat dilakukan penundaan dan/atau pemotongan dalam hal daerah tidak memenuhi paling sedikit anggaran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan atau menunggak membayar iuran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan.”
Para Pemohon menguraikan dalam permohonannya, ketentuan a quo telah merugikan hak konstitusional para Pemohon karena tidak mendapatkan haknya sebagai masyarakat Kabupaten Kutai Timur untuk mendapatkan transfer uang dari pemerintah pusat secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Untuk itu, Pemohon meminta MK membatalkan keberlakuan pasal a quo. (ARS/LA)