Relasi Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi perbincangan menarik saat 18 mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, berkunjung ke MK, Rabu (7/2).
Membuka diskus, Peneliti MK Helmi Kasim yang menerima kunjungan tersebut membahas mengenai adanya penilaian bahwa putusan MK menguntungkan pelaku korupsi. Menurut Helmi, putusan MK persoalan demikian tidak bisa dilihat hanya secara hitam putih. Ia menegaskan MK dan KPK memiliki fungsi dan peran dalam ranah berbeda sehingga tidak dapat dinilai keberpihakan MK terhadap pemberantasan korupsi yang dijalankan KPK.
“MK adalah lembaga peradilan. Sedangkan KPK bergerak dalam ranah penindakan serta pemberantasan korupsi. Saat memutus perkara, MK posisinya memakai kacamata Konstitusi. Misal ada suatu undang-undang tidak sesuai dengan Konstitusi, maka akan dibatalkan MK. Jadi, tidak ada sangkut-paut MK dengan KPK,” jelas Helmi.
Helmi melanjutkan, kedua lembaga bekerja masing-masing sesuai kewenangannya. Akan tetapi, Helmi tidak menutup mata jika ada upaya pengujian undang-undang yang berupaya melemahkan KPK. Namun, saat memutus perkara, MK tetap bersikap independen, objektif, serta berpegang teguh pada Konstitusi.
Untuk itu, Helmi mencontohkan aturan tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) awalnya ada di UU KPK, namun MK memutus jika UU Tipikor mesti diatur sendiri dalam suatu UU khusus. Fakta ini, lanjutnya, menunjukkan putusan MK tak selalu melemahkan KPK sehingga paradigma MK yang tidak pro pemberantasan korupsi menjadi tidak benar.
Terkait usaha lembaga mengembalikan kepercayaan publik pasca kasus korupsi yang menimpa MK, Helmi menyebut secara kelembagaan MK tetap kuat dan menilai permasalahan tersebut bermuara dari kesalahan pribadi, bukan institusi. “Kami secara institusional tetap kuat dan menganggap kesalahan yang terjadi adalah bersifat personal,” jelasnya.
Helmi menyebut MK langsung berbenah dengan cara mengisolasi masalah. Di sisi lain, MK juga bersifat transparan dan kooperatif pada penegak hukum. Hal ini, lanjutnya, untuk memberikan sinyal kepada publik jika kasus yang terjadi memang bersifat individu. “Di zaman pimpinan Hamdan Zoelva, kami jawab kritik publik dengan kerja. Alhamdulillah kepercayaan publik langsung meningkat kepada MK,” jelasnya.
Selain sesi diskusi, Helmi juga menjelaskan secara singkat informasi tentang MK. Di Indonesia, MK menjadi pengawal Konstitusi yang bertugas untuk memastikan undang-undang yang dibentuk parlemen dan presiden tidak bertentangan dengan Konstitusi. Perspektif lainnya, ujar Helmi, MK juga menjadi lembaga yang melindungi hak konstitusional warga negara Indonesia karena masyarakat dapat mengajukan pengujian materi suatu UU ke MK jika merasa hak konstitusionalnya dilanggar.
Lebih detail, Helmi menjelaskan tentang empat kewenangan dan satu kewajiban MK. Perinciannya, yakni menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu. “Untuk kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran presiden dan atau wakil presiden menurut UUD 1945,” jelasnya. (ARS/LA)