Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan (UU Akses Informasi Keuangan) menciptakan keadilan dalam sistem pemungutan pajak sehingga seluruh wajib pajak dapat berkontribusi melalui pembayaran pajak untuk pembangunan Negara Republik Indonesia. Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hadiyanto dalam sidang uji materiil UU Akses Informasi Keuangan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (5/2).
Hadiyanto yang hadir mewakili Pemerintah, menyebut upaya pengumpulan pajak mengalami hambatan dengan maraknya praktik penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion) oleh para wajib pajak. Hambatan ini dilakukan dengan memanfaatkan kondisi keterbatasan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Keterbatasan tersebut, lanjut Hadiyanto, dimanfaatkan wajib pajak untuk tidak patuh melaporkan penghasilan dan harta sesuai dengan kondisi sesungguhnya, dengan asumsi bahwa tindakan penyembunyian informasi keuangan tidak akan pernah diketahui oleh DJP. Dengan kata lain, keterbatasan akses data atau informasi keuangan ini akan sangat memengaruhi kemampuan DJP untuk memastikan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
“Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dengan pertimbangan kebutuhan yang sangat mendesak agar segera dapat memberikan akses bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi untuk kepentingan perpajakan, Presiden telah menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang diundangkan pada tanggal 8 Mei 2017,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Hadiyanto juga memaparkan keberadaan UU Akses Informasi Keuangan juga berfungsi untuk endorong penguatan basis data perpajakan dari lembaga keuangan dan negara mitra atau yurisdiksi mitra AEOI. Tak hanya itu, Hadiyanto mendukung upaya pengumpulan penerimaan pajak sehingga tax ratio meningkat.
“Memenuhi komitmen Indonesia untuk AEOI tahun 2018, sehingga Indonesia tidak dilaporkan sebagai negara yang failing to meet their commitment dan non-cooperative jurisdiction, dan untuk menjaga keberlanjutan efektivitas program amnesti pajak sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Karena dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017, DJP dapat memperoleh data atau informasi keuangan wajib pajak, baik yang disimpan di dalam maupun di luar negeri,” tegasnya.
Terkait permohonan, Hadiyanto menganggap Pemohon keliru memahami dan memaknai Ketentuan Pasal 8 Lampiran UU Akses Informasi Keuangan. Ketentuan yang dimohonkan Pemohon terbatas hanya untuk kepentingan perpajakan, tidak untuk kepentingan yang lain sehingga untuk kepentingan di luar perpajakan, ketentuan mengenai kerahasiaan informasi keuangan tersebut masih tetap berlaku. Ia menjelaskan dalam Ketentuan Pasal 2 Lampiran UU Akses Informasi Keuangan secara jelas membatasi kewenangan DJP, yaitu hanya dapat mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan. “Akses informasi keuangan yang diberikan kepada DJP, bukan berarti DJP secara langsung dapat mengakses sistem informasi keuangan yang dimiliki lembaga keuangan. Akses informasi keuangan diberikan dalam bentuk penyampaian data dan informasi keuangan milik nasabah oleh lembaga keuangan kepada Direktorat Jenderal Pajak,” tegasnya.
Sebagai informasi, Perkara Nomor 107/PUU-XV/2017 diajukan Dosen Hukum Universitas Indonesia E. Fernando. M. Manullang. Dirinya memiliki rekening nasabah pada lembaga keuangan dan perbankan. Dengan berlakunya UU 9/2017, maka potensi kerugian yang dapat dipastikan adalah lembaga perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya secara sengaja maupun tidak sengaja dan/atau secara langsung dan/atau tidak langsung melepas tanggung jawab untuk menjaga rahasia nasabah setiap Warga Negara Indonesia (WNI). Dalih yang digunakan yakni melaksanakan ketentuan UU, yang secara substansial tidak sesuai dengan Automatic Exchange of Financial Information (AEOI). (ARS/LA)