Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) ditinjau secara filosofis tidaklah bertentangan, bahkan selaras dan sejalan dengan cita-cita hukum dalam Konstitusi. Hal ini disampaikan Abdul Chair Ramadhan selaku Ahli Pihak Terkait dalam sidang ke-13 Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 yang digelar pada Rabu (31/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebagai Ahli Dewan Dakwah Islamiyah, Abdul menyebut dalam rangka perlindungan terhadap ajaran agama, maka negara memerlukan tindakan atau penetapan terhadap perbuatan yang menyerang kepentingan agama. Oleh karena itu, lanjutnya, negara menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan hak untuk memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.
Selain itu, Pakar Hukum Pidana tersebut menjelaskan bahwa perbuatan penyalahgunaan agama sebagaimana dilakukan oleh Ahmadiyah, secara sadar kepastian (dolus directus), dapat menimbulkan perbuatan penodaan terhadap agama. Ketika terjadi penodaan agama, lanjut Abdul, maka derajat penanganannya yang dilakukan adalah berbeda dengan penyalahgunaan agama. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peringatan keras dalam bentuk SKB terhadap penyalahgunaan agama sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 UU Penodaan Agama.
\"Perlu dimengerti istilah penyalahgunaan agama ini adalah dimaksudkan untuk kodifikasi keberlakuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 untuk kemudian dimasukkan dalam KUHP menjadi Pasal 156A tepatnya pada huruf a. Dengan demikian, penyisipan Pasal 4 Undang-Undang PNPS ini adalah dalam rangka mempertemukan antara pasal sebelumnya, yaitu Pasal 156 dan Pasal 157. Dan sesuai dengan judulnya ada frasa pencegahan, penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama. Dengan demikian, penyalahgunaan dapat menimbulkan penodaan, tetapi penodaan dapat berdiri sendiri,\" tegasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Sebelumnya, para Pemohon yang merupakan penganut Ahmadiyah mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut Para Pemohon, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan Para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.
Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri. Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran Para Pemohon dari lokasi tempat tinggal. Untuk itu, Para Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum. (Lulu Anjarsari)