Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP) yang dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (Institute for Criminal Justice Reform) akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan ini menegaskan Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP sesuai dengan UUD 1945.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan MK, Rabu (31/1) siang.
Terhadap Perkara Nomor 7/PUU-XV/2017 tersebut, menurut Mahkamah, dari permohonan Pemohon tidak ditemukan konsep rumusan yang ditawarkan Pemohon untuk mengubah konstruksi pasal-pasal yang dinyatakan inkonstitusional oleh Pemohon agar dapat menciptakan kepastian hukum sebagaimana diinginkan Pemohon.
“Argumentasi Pemohon bahwa dengan memaknai kata ‘makar’ dalam pasal-pasal KUHP tersebut sebagai ‘serangan’ tanpa disertai formulasi yang jelas tentang unsur-unsur tidak pidana dimaksud akan memberi kepastian hukum, sulit diterima,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan pendapat Mahkamah.
Mahkamah beranggapan, apabila kata “makar” begitu saja dimaknai sebagai “serangan” tanpa dikaitkan dengan rumusan norma lain yang ada pada pasal-pasal yang diminta pengujian oleh Pemohon, terutama Pasal 87 KUHP. Hal ini justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena penegak hukum baru dapat melakukan tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana makar, apabila orang yang bersangkutan telah melakukan tindakan “serangan” dan telah nyata menimbulkan korban.
Berdasarkan uraian di atas, Mahkamah berpendapat pengaturan pasal-pasal KUHP a quo yang dimohonkan Pemohon telah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam perspektif Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 konteksnya adalah negara menegakkan supremasi hukum bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Hukum memegang peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bertolak dari pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, tidak terdapat koherensi yang dapat diterima oleh penalaran yang wajar untuk mendalilkan bahwa norma pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur tentang makar bertentangan dengan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaan seseorang serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan.
Namun demikian, Suhartoyo melanjutkan Mahkamah perlu menegaskan bahwa penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal yang berkenaan dengan makar sehingga tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis. “Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Suhartoyo.
Tidak Dapat Diterima
Sementara itu terhadap permohonan Perkara Nomor 28/PUU-IV/2017 yang juga menguji KUHP, MK menyatakan tidak dapat diterima dan menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Dalil Pemohon yang menyatakan norma yang diujikan Pemohon dapat digunakan mengkriminalkan pertemuan-pertemuan menyuarakan demokrasi, menurut Mahkamah, sama sekali tidak beralasan menurut hukum.
Sepanjang pertemuan-pertemuan yang menyuarakan demokrasi untuk menuntut hak sebagaimana didalilkan Pemohon, tidak ditujukan untuk melakukan makar atau memberontak terhadap pemerintahan yang sah menurut Konstitusi,” ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Selanjutnya, terhadap dalil Hans Wilson Wader, dkk., sebagai warga Papua yang merupakan para Pemohon yang tidak setuju pengaturan ancaman pidana dalam Pasal 110 ayat (2) KUHP serta merta disamakan dengan ancaman pidana dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107 dan Pasal 108. Anwar menyebut Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut adalah wilayah kewenangan pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.
Sedangkan mengenai kekhawatiran para Pemohon akan adanya penyalahgunaan penerapan pasal-pasal a quo dalam kasus konkret, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan hakim yang mengadili perkara in concreto. Dalam hal ini, Mahkamah perlu menegaskan kembali bahwa penegak hukum harus hati-hati dalam menerapkan pasal-pasal yang berkenaan dengan kejahatan terhadap negara sehingga tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan norma yang mengatur tentang makar yang tercantum Pasal 104, Pasal 106 dan Pasal 107 KUHP telah dipertimbangkan dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 7/PUU-XV/2017. Sedangkan, dalil para Pemohon tentang pemberontakan dan permufakatan jahat untuk melakukan makar dan pemberontakan yang diatur dalam Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Sehingga Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP tidak beralasan menurut hukum,” tegas Anwar. (Nano Tresna Arfana/LA)