Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara No. 29/PUU-V/2007 tentang pengujian UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (UU Perfilman) terhadap UUD 1945, Kamis (24/1) di ruang sidang pleno MK dengan agenda Mendengarkan Keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon, Pemerintah dan Pihak Terkait. Permohonan ini diajukan oleh lima orang Pemohon yaitu, Annisa Nurul Shanty K. (Aktris), Muhammad Rivai Riza (Riri Reza) sutradara film, Nur Kurniati Aisyah Dewi (Nia Dinata) produser film, Lalu Rois Amriradhiani (Penyelenggara Festival Film), dan Tino Saroengallo (Pengajar dan Sutradara Film). Para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 4 Bab V, Pasal 33 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), Pasal 34 Ayat (1), (2), (3), Pasal 40 Ayat (1), (2), (3), dan Pasal 41 ayat (1) huruf b UU Perfilman sepanjang mengenai ketentuan tentang Penyensoran melanggar Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945.
Para Pemohon berpendapat bahwa pedoman dan kriteria penyensoran yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film dan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.31/UM.001/MKP/05 tentang Tata Kerja Lembaga Sensor Film dan Tata Laksana Penyensoran, tidak pernah dipergunakan oleh LSF. Selain itu, para Pemohon juga menyatakan bahwa penyensoran yang dilakukan LSF dengan cara menolak secara utuh film karena alasan tematis dan/atau meniadakan dengan cara memotong bagian-bagian film berupa judul, tema, dialog, gambar dan/atau suara tertentu, telah merugikan hak konstitusional para Pemohon selaku pelaku perfilman Indonesia. Selain itu, para Pemohon juga berpendapat bahwa selama ini tidak ada parameter atau ukuran yang jelas tentang penyensoran.
Pada awal persidangan Seno Gumira Ajidarma, ahli perfilman, yang diajukan Pemohon mengatakan terdapat dua konteks teknik pembuatan film, yaitu teknik encoding yang mana sutradara membuat film dengan tujuan membuat penonton merasa senang, lucu bahkan terharu. Sedangkan pada teknik yang kedua yaitu, decoding, sutradara membuat film agar penonton dapat memecahkan kode-kode yang diberikan oleh pembuat film. Dasar pemecahan ini, menurut Seno, adalah wacana masing-masing dari penonton yang apabila mereka senang, tertawa, dan terharu berarti maksud dari film tersebut tersampaikan. âTetapi tidak semua penonton bisa menangkap maksud dari kode tersebut,â jelas Seno.
Lebih lanjut Seno berpendapat bahwa penonton tidak bisa dicetak, dibius, dan dipengaruhi oleh film. Seno juga berpendapat bahwa penonton itu bukanlah konsumer akan tetapi justru dia adalah produsen makna. âJadi penonton itu sebenarnya mempunyai wacana tersendiri ketika dia menangkap sebuah informasi dan itu yang membentuk dirinya sebagai subjek sosial,â terang Seno lagi.
Terkait halnya dengan LSF, Seno berpendapat bahwa lembaga tersebut merupakan representasi negara dan regulasi yang bertindak sebagai faktor determinan (pembentuk wacana), di mana film yang lolos sensor dapat ditonton dan yang tidak lolos sensor tidak dapat ditonton. Dalam konteks ini yang bertindak sebagai faktor determinan bukan hanya negara dan regulasi tetapi juga pasar ideologi dan institusi pendidikan. Jadi diibaratkan LSF ini sebagai pulau sensor di tengah samudera informasi, di mana informasi tersebut sudah ada di masyarakat. Untuk itu diperlukan adanya konsensus sosial baru terhadap LSF.
Ahli Pemohon lainnya, Goenawan Mohammad, mengatakan ada kesan bagi setiap orang yang menginginkan kebebasan berekspresi seolah-olah menginginkan kemerdekaan tanpa batas. Sembari mengutip pernyataan seorang penulis, salah seorang tokoh pers senior ini mengatakan bahwa betapa bahayanya kemerdekaan, namun lebih berbahaya lagi kondisi ketidakmerdekaan. âIni kita alami saat zaman orde baru di mana pers tidak bebas, terjadi penyelewengan dan kekejaman,â kata Goenawan.
Menurut Goenawan, menyensor film memang bukanlah pekerjaan yang mudah, terlebih apabila yang dipotong adalah konteks yang penting mengenai film tersebut. Apabila pemotongan tersebut tidak memperhatikan konteks film, lanjut Goenawan, akan menyebabkan orang (para penikmat film) tidak bisa melihat film dari fragmen-fragmen yang kecil. âPotongan-potongan (hasil sensor) itu memang tidak ada artinya, tetapi akibatnya konteks dari film tersebut menjadi hilang,â jelasnya.
Sementara budayawan Taufik Ismail yang berbicara sebagai ahli dari Pemerintah mengatakan ciri yang dibawa oleh perubahan itu ada enam, yakni: permissif (perilaku serba boleh), adiktif ( perilaku serba kecanduan), brutalistik (perilaku serba kekerasan), transgresif (perilaku serba melanggar aturan), hedonistik (perilaku serba mau enak dan foya-foya), dan materialistik (perilaku serba benda dengan uang sebagai ukurannya). âDalam hal ini, film dapat menjadi salah satu media yang mampu berperan sebagai perusakan moral dengan adanya ekspresi nafsu dan syahwat yang ditampilkan melalui film dan sinetron,â jelasnya.
Menurut anggapan Budayawan yang memiliki perhatian besar terhadap masalah-masalah sosial ini, walaupun film membawa banyak informasi bagi masyarakat, tetapi tidak sedikit juga ketidakmanfaatan yang dibawanya.
Pada kesempatan tersebut, Taufik juga membeberkan fakta bahwa saat ini Indonesia telah menjadi salah satu produsen âfilm biruâ (film yang menonjolkan adegan seksualitas) terbesar di dunia. Beberapa dampak negatif yang menimbulkan perilaku negatif yang dibawa dari beredarnya vcd porno adalah maraknya free sex (seks bebas) di kalangan remaja, kasus perkosaan, dan aborsi.
âDi sini LSF diibaratkan sebagai sebuah pagar yang menghalangi anak-anak dan orang dewasa untuk tidak jatuh ke dalam jurang yang dalam, yang penuh dengan batu-batu dan binatang-binatang buas di dasarnya. Kalau terjatuh akan mengakibatkan patah-patah, gegar otak dan cacat seumur hidup. Oleh karena itu marilah kita jaga anak-anak kita untuk tidak mendekati jurang tersebut,â tandas Taufik mengingatkan.
Ahli dari Pemerintah lainnya, Fetty Fajriati menganggap bahwa UU perfilman berada pada koridor yang tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Ia mengungkapkan meskipun di dalam Pasal 28F UUD 1945 membuka kepada semua orang untuk berkreasi, namun tetap harus memperhatikan norma-norma agama dan nilai-nilai budaya.
âFilm dan sinetron yang saat ini beredar di Indonesia banyak yang mengandung unsur seks, kekerasan dan mistik. Sudah banyak masyarakat yang melayangkan surat protes kepada KPI mengenai tayangan-tayangan tersebut. Bahkan baru-baru ini ada anak yang bunuh diri karena terinspirasi dari tayangan film kartun Naruto yang sampai saat ini dari awal penayangan film tersebut belum pernah masuk LSF. Jadi bayangkan jika keberadaan LSF dihapuskan. Dengan masih adanya LSF saja, tayangan-tayangan yang merusak moral masih banyak yang beredar bebas,â kata anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini.
Menurut mantan penyiar salah satu stasiun televisi swasta ini, film merupakan salah satu unsur dari pengembangan budaya yang patut dipelihara, tetapi dalam pembuatannya tetap harus memperhatikan norma-norma hukum yang berlaku.
Demi Film Nasional
Pada persidangan tersebut, selain mendengarkan keterangan para ahli, juga didengarkan keterangan dari pihak-pihak terkait tidak langsung, seperti Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Artis senior Deddy Mizwar yang berbicara mewakili BP2N, menganggap persoalan perfilman lebih dari sekedar permasalahan akan keberadaan LSF yang dianggap memasung kebebasan berekspresi para praktisi perfilman.
âOleh karena itu saya sebenarnya bertanya, para Pemohon ini menginginkan kemajuan industri perfilman atau menginginkan ekspresi bebas? Sementara sesunggunhya kebebasan itu sendiri harus diatur. Jadi saya tidak sependapat apabila LSF dibubarkan karena akan mengakibatkan film-film yang tidak beraturan dapat bebas beredar,â tegas aktor pemeran Naga Bonar ini.
Akan tetapi, menurut aktor yang juga sutradara sekaligus produser film ini, di masa yang akan datang harus dilakukan juga perubahan dan perbaikan kinerja LSF yang saat ini banyak dinilai kurang menghargai cita rasa seni. âSaat ini BP2N telah mengusulkan revisi terhadap ketentuan-ketentuan dalam UU Perfilman, khususnya yang mengatur tentang LSF. Dengan perubahan tersebut diharapkan kemajuan dan perkembangan film nasional akan dapat terlaksana,â ujarnya.
Sidang yang berlangsung selama lima jam tersebut berakhir dengan agenda lanjutan untuk mendengarkan saksi dari masing-masing pihak yakni Pemohon dan Pemerintah serta mendengarkan tanggapan mengenai keterangan dari ahli Pemohon dan Pemerintah. âMajelis juga akan membuka persidangan khusus untuk menyaksikan potongan-potongan dari film yang disensor oleh LSFâ, ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, sebelum menutup sidang. [Andhini Sayu Fauzia]