Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar bimbingan teknis (Bimtek) bagi 160 Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), yang diadakan pada Senin – Rabu (29 – 31/1) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Bogor. Acara yang dilaksanakan selama tiga hari tersebut digelar sebagai persiapan menyambut Pilkada Serentak Tahun 2018.
Dalam pembukaan, Wakil Ketua MK Anwar Usman hadir memberikan sambutan. Menurutnya, bimtek digelar dengan tujuan untuk mewujudkan kesepahaman, koordinasi, dan kerja sama demi terlaksananya pilkada yang demokratis sesuai dengan undang-undang dan Konstitusi.
Anwar berpesan agar advokat menjalankan profesinya dengan penuh integritas. Selain itu, ia berharap advokat dapat memberikan pemahaman yang benar pada kliennya. “Tidak mengajarkan cara-cara yang salah untuk membela klien. Semua mesti sesuai koridor hukum yang ada,” jelasnya.
Selanjutnya, Anwar menyebut dunia hukum sangat dekat dengan fitnah. Selain itu, banyak godaan yang dapat membuat seseorang menjadi tergelincir. “Di sinilah pentingnya memiliki sikap dan prinsip yang kuat. Saya berharap seluruh peserta merupakan advokat yang baik dan berintegritas,” ujarnya.
Anwar juga berpesan agar tiap advokat nantinya dapat menerima apapun putusan MK kaitannya dengan sengketa pilkada. Sebab hakikatnya, putusan MK tak dapat memuaskan semua pihak.
MK dalam Sistem Ketatanegaraan
Sekjen MK M Guntur Hamzah hadir memberikan materi tentang MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia mengawali pemaparan dengan menceritakan asal-muasal sejarah kewenangan uji materi di berbagai negara terutama di Inggris.
Di Inggris yang berbentuk kerajaan, lanjut Guntur, sifatnya berpusat pada raja atau ratu. Hal ini membuat muncul adagium terkenal jika raja tak pernah salah. Ini merupakan turunan dari konsep raja adalah wakil Tuhan di dunia. Di sisi lain, raja juga memegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Guntur menyebut kondisi ini menyebabkan aturan atau produk hukum menjadi absolut ciptaan raja. Tidak ada yang dapat mengkoreksi aturan yang telah dibuat. Hal ini membuat tokoh hukum Inggris, kala itu Sir Edward Coke berpikir tentang adanya mekanisme untuk mengoreksi suatu aturan atau undang-undang. “Namun ide ini sebatas ide dan tak pernah terwujud. Sebab, hingga kini lembaga untuk judicial review di Inggris tak pernah terbentuk,” jelasnya.
Sementara di dunia, Guntur menyebut MK pertama berada di Austria dan diprakarsai oleh Hans Kelsen. Pada 1919, ide pembentukan MK digulirkan dan baru terbentuk pada 1920. Mengikuti jejak Austria, negara lain akhirnya juga membentuk lembaga sejenis MK yang dapat melakukan judicial review, seperti Lichtenstein (1925), Yunani (1927), Mesir (1941), Spanyol (1931), dan Irlandia (1937).
Adapun di Indonesia, MK berdiri pasca Indonesia masuk era reformasi melalui amendemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Landasan teoritis pembentukan MK adalah manifestasi negara hukum yang demokratis dan merupakan gabungan dari prinsip kedaulatan rakyat serta prinsip kedaulatan hukum yang dianut UUD 1945.
Selanjutnya, Guntur memaparkan mengenai empat kewenangan dan satu kewajiban. Perinciannya, yakni menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu. “Untuk kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran presiden dan atau wakil presiden menurut UUD 1945,” jelasnya.
Selain itu, MK juga memiliki kewenangan tambahan untuk memutus sengketa pilkada. Meski demikian, merujuk pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), MK tetap memeriksa dan mengadili sengketa pilkada sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Hukum Acara MK
Sementara Hakim Konstitusi Aswanto memberikan materi tentang hukum acara PHP Kada di MK. Ia menyatakan beracara di MK memiliki keunikan tersendiri karena tidak diperlukan status sebagai advokat atau memiliki izin beracara. Hal ini menimbulkan kritik bagi beberapa kalangan. Meski demikian, lanjutnya, hal tersebut sejalan dengan prinsip pengadilan modern yang lebih mengutamakan substansi daripada prosedur. “Untuk beracara cukup menunjukkan surat kuasa serta berpakaian rapi tak perlu memakai toga. Yang memakai toga khusus mereka yang sudah berstatus advokat,” jelasnya.
Aswanto juga mengingatkan terkait Pasal 158 UU UU Pilkada, yakni ada aturan selisih suara untuk perkara yang masuk ke MK. Ia menyebut banyak perkara PHP Kada yang ditolak MK karena terganjal pasal a quo. Aswanto berpesan agar para advokat memperhatikan hal ini jika ingin menang saat berperkara di MK.
Dalam sesi materi lain, hadir pula Tim IT MK yang menjelaskan penggunaan teknologi untuk urusan permohonan. Para peserta mendapatkan pelatihan cara mengunggah dokumen secara online melalui aplikasi e-perkara. Selain itu, terdapat pula pelatihan penyusunan berkas permohonan yang langsung dipandu oleh Kepaniteraan MK. (ARS/LA)