Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan mahasiswa yang tergabung dalam Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) UIN Sunan Kalijaga pada Selasa (30/1) siang. Kunjungan tersebut diterima oleh Peneliti MK Abdul Ghoffar di Aula MK.
Dalam awal pemaparannya, Ghoffar menjelaskan mengenai sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menuturkan pada masa orde baru, ada kesalahan dalam sistem ketatanegaraan karena penguasa bertahta terlalu lama duduk di tampuk kekuasaan. Padahal dalam negara demokrasi, lanjutnya, kekuasaan dibatasi selama 5 tahun. "Sistem ini diubah dan menambahkan sistem check and balances," ujarnya di hadapan sekitar 50 orang mahasiswa tersebut.
Dalam sistem ketatanegaraan sebelumnya, menempatkan MPR sebagai tinggi negara. Akan tetapi, pada proses Perubahan UUD 1945 yang berlangsung pada 1999 - 2002, sistem ketatanegaraan diubah. Hal ini menjadikan semua lembaga negara memiliki kedudukan yang setara. "The second founding fathers pun mulai membentuk Mahkamah Konstitusi juga sebagai bentuk wujud sistem check and balances," jelasnya.
Ghoffar pun memaparkan mengenai Konstitusi Hidup (The Living Constitution). Menurutnya, the living constitutions mengandung arti Konstitusi yang bisa mengikuti perkembangan jaman. "Keberadaan MK inilah untuk menjaga Konstitusi sebagai the living constitution," terangnya.
Putusan MK, lanjut Ghoffar, berada di atas undang-undang dan di bawah UUD 1945. Hal itu karena putusan MK merupakan penafsiran dari Konstitusi.
Menanggapi pertanyaan mengenai komposisi hakim konstitusi, Ghoffar menjelaskan the second founding fathers menginginkan adanya keseimbangan. Meski ada beberapa pendapat bahwa Presiden diajukan oleh partai politik. Akan tetapi, lanjutnya, kekhawatiran mengenai subjektifnya Presiden yang terpilih dari parpol. Namun, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. "Misalnya saja mengenai putusan presidential threshold, justru hakim yang ditunjuk Presiden memiliki pendapat berbeda (Dissenting Opinion). Maka menjadi hakim konstitusi itu sudah terlepas dari lembaga yang mengajukannya," jelasnya.
Sementara terkait pengujian UU MK ke Mahkamah Konstitusi, Ghoffar menyebut MK merupakan lembaga peradilan yang bersifat yudikatif. Karena itu, sambungnya, MK tetap tidak bisa menambah kewenangannya. "Dalam sejarah manusia, tidak ada lembaga peradilan yang otoriter, begitu juga MK," jelasnya.
Kemudian mengenai putusan MK yang tidak memiliki lembaga pengeksekusi, Ghoffar menyebut pihak-pihak yang "memenangkan" perkara menjadi pihak pengeksekusi putusan MK. (Lulu Anjarsari)