Sejumah pekerja yang bekerja pada beberapa perusahaan swasta di Jakarta Timur dan Bekasi melakukan pengujian Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), Kamis (25/1). Abdul Hakim, Romi Andriyan Hutagaol, Budi Oktariyan, Mardani, Tarsan, dan Supriyanto merupakan para Pemohon perseorangan yang mengajukan perkara teregistrasi Nomor 6/PUU-XVI/2018 ini. Melalui kuasa hukumnya, Eep Ependi menyampaikan pasal a quo yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya.
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) menyatakan, “Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.”
Dalam sidang pendahuluan yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Wahiduddin Adams di Ruang Sidang Pleno MK, Eep menegaskan terhadap pasal a quo para Pemohon dirugikan dengan ketidakpastian hukum tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang telah disepakati pada masa awal pekerja diterima bekerja di perusahaannya. Dalam uraiannya, Eep menjelaskan pasal a quo hanya memuat persyaratan pencatatan perjanjian kerja kontrak ke Dinas Tenaga Kerja sehingga menimbulkan pertanyaan.
“Apakah pengusaha tempat para Pemohon bekerja secara sukarela mau mencatatkan perjanjian kontraknya? Apakah perjanjian kontrak yang diajukan untuk dicatat tanpa terlebih dahulu diperiksa telah sesuai dengan UU Ketenagakerjaan atau tidak?” jelas Eep yang didampingi Abdul Hakim yang merupakan salah satu Pemohon.
Eep menguraikan bahwa pada praktik di lapangan, pencatatan PKWT dalam UU a quo tidak bersifat wajib dan dilakukan oleh bukan pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. “Dengan tindakan tersebut, melahirkan keragu-raguan dalam praktiknya karena isi yang termuat dalam PKWT tersebut apakah sudah sesuai dengan perundang-undangan berlaku atau tidak,” jelas Eep.
Terhadap jaminan perlindungan dan kepastian hukum tersebut, Eep menyebutkan bahwa MK melalui Putusan Nomor 7/PUU-XII/2014 pada 4 Novemver 2015 lalu telah secara tegas menyatakan terhadap siapa yang berwenang menentukan terpenuhi atau tidaknya perjanjian kontrak. “Oleh karenanya, seyogianya pencatatan perjanjian kontrak menjadi kewenangan pengawas ketenagakerjaan dengan terlebih dulu dilakukan pemeriksaan atas terpenuhi atau tidaknya persyaratan perjanjian kontrak, baik secara subjektif maupun objektif,” tegas Eep.
Nasihat Hakim
Terhadap penjelasan kuasa hukum para Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin meminta agar para Pemohon mempertajam kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon. “Ini sangat simpel, hanya disebut pasal a quo bertentangan dan mengutip ada putusan MK, tetapi kerugian konstitusional yang terkait dengan norma yang diuji masih perlu dijelaskan lebih rinci dan konkret,” jelas Wahiduddin.
Dalam melihat perkara ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo lebih menekankan perlunya para Pemohon melampirkan sejumlah bukti seperti nomor kontrak, nomor perjanjian kerja, bahkan surat PHK dari hal-hal yang dialami para Pemohon dari perusahaannya, mengingat tempat bekerja para Pemohon berbeda-beda. “Meskipun MK tidak mengadili kasus konkret, tetapi itu dapat memperkuat Anda akan adanya anggapan kerugian konstitusional yang dialami dengan berlakunya ketentuan pasal ini,” terang Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Aswanto menyampaikan para Pemohon diberikan waktu hingga 7 Februari 2018 pukul 10.00 WIB untuk menyerahkan perbaikan ke bagian Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)