Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan 12 anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bethel, Senin (24/1). Mereka disambut Peneliti MK Nallom Kurniawan di Ruang Peneliti MK.
Nallom menjelaskan berdirinya MK Indonesia sempat menimbulkan perdebatan. Karena MK yang merupakan lembaga peradilan berisi sembilan hakim yang dapat membatalkan undang-undang (UU). Padahal, lanjutnya, suatu aturan telah dibuat oleh 560 anggota DPR bersama dengan presiden. “Namun hakikat reformasi menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara haruslah dilindungi. Disinilah peran yang diemban oleh MK,” tegasnya.
Pengertiannya, lanjut Nallom, seorang warga negara dapat mengajukan uji UU ke MK dan MK akan menilai UU tersebut bertentangan dengan Konstitusi atau tidak. Nallom menyebut warga Indonesia mesti bersyukur. Sebab di negara lain tidak setiap warga negara dapat memiliki legal standing untuk berperkara di MK. Dia mencontohkan warga negara Austria yang tidak memiliki legal standing untuk berperkara. Padahal dalam sejarah dunia, MK pertama di dunia lazim dikenal berdiri di negara Austria. Secara de facto hal tersebut kurang tepat. Sebab beberapa bulan sebelumnya di Cekoslowakia sudah berdiri MK. “Namun karena ada pergolakan politik, akhirnya MK Cekoslowakia tidak menjalankan aktivitasnya. Ini berbeda jika dibandingkan MK Austria,” ujarnya.
Secara global, lanjutnya, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasar UUD 1945. Kewenangan MK, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
Nallom menjelaskan kewenangan memutus sengketa lembaga negara berangkat dari konsep hilangnya lembaga tertinggi negara (MPR) pasca-amendemen UUD 1945. Saat ini yang ada hanyalah lembaga tinggi negara. “Konsekuensinya antar lembaga negara bersifat setara sederajat. Jika ada konflik, maka diselesaikan di MK,” tegasnya.
Adapun kewenangan pembubaran partai politik oleh MK merupakan penghormatan terhadap demokrasi. Dalam negara demokrasi tidak boleh suatu partai politik dibubarkan oleh eksekutif. “Proses pembubaran mesti dilakukan dalam ranah hukum yang fair. Disinilah MK memiliki peran tersebut,” ujar Nallom.
Terkait pemakzulan, lanjut Nallom, sifatnya untuk memperkuat sistem presidensial. Jika ingin menurunkan presiden, harus melalui unsur proses hukum. “Jika sebelum amendemen, yang terjadi full proses politik di parlemen. Sebagai contoh mantan Presiden Gusdur yang dilengserkan oleh proses politik DPR tahun 2001,” jelasnya.
Adapun proses sengketa pilkada di MK adalah rutinitas perkara yang sering dijalani MK bersama dengan pengujian UU. Dari semua kewenangan dan kewajiban, lanjut Nallom, perkara pembubaran partai politik dan pemakzulan presiden belum pernah masuk ke MK.
Saat sesi tanya jawab, peserta Jonson Sirait bertanya apakah ada friksi di antara hakim MK saat menghadapi perkara. Nallom menjawab dengan memakai frasa “perbedaan pendapat”, sebab dalam hal apapun perbedaan adalah keniscayaan.
“Dalam memutuskan perkara selalu ada perbedaan pandangan itu biasa. Makanya terdapat sembilan hakim di MK. Dengan komposisi tersebut, jika tidak mencapai kata musyawarah akan diadakan voting sebab jumlah total hakim MK ganjil,” tandas Nallom. (ARS/LA)