Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan sidang pertama pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), yang dimohonkan oleh M. Komarudin dan Muhammad Hafidz selaku pengurus Dewan Pimpinan Pusat Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (DPP F.ISBI), Rabu (23/1) di Ruang Sidang Panel Gedung MK. Para Pemohon meminta Majelis Hakim untuk menguji Pasal 29, Pasal 55 Ayat (1), dan Pasal 59 Ayat (1) UU Kepailitan yang dinilai telah bertentangan dengan UUD 1945.
âUndang-Undang Dasar Tahun 1945 sudah memberikan dasar yang jelas dan tegas, bahwa setiap warga negara secara konstitusional berhak mendapat pekerjaan serta imbalan yang adil dan layak. Sayangnya, hak buruh yang telah dijamin ini dapat terancam dengan adanya ketentuan predikat kreditor yang didahulukan dalam hal pembagian harta pailitâ, Muhammad Hafidz menjelaskan kedudukan hukum permohonannya.
Khusus mengenai Pasal 29 UU Kepailitan, Hafidz melanjutkan bahwa pasal ini dinilai telah melanggar Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Hafidz menganggap ketentuan dalam Pasal tersebut berpotensi menghalangi kaum buruh untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, dengan dengan aturannya yang menggugurkan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan piutang dari harta pailit dan perkaranya yang sedang berjalan. Sedangkan mengenai Pasal 55 Ayat (1) dan Pasal 59 Ayat (1), kedua pasal ini dinilai para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 karena tidak memberikan kesempatan pada kaum buruh untuk mengeksekusi haknya pada Kurator saat terjadi kepailitan. Hafidz pun menambahkan, amanat dalam kedua pasal ini tidak sesuai dengan amanat Pasal 95 Ayat (4) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
âPokok pikiran dari Pasal 95 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan adalah untuk melindungi hak-hak pekerja selama berlangsung maupun saat berakhirnya hubungan kerja karena kepailitan. Pada ketentuan tersebut, buruh dan pekerja berada pada kedudukan pertama ketika terjadinya kepailitan, sehingga amanat konstitusi dapat dijalankanâ, lanjut Hafidz.
Dengan berbagai latar belakang tersebutlah kemudian Hafidz dan rekan-rekannya DPP F.ISBI memohon MK mengabulkan permohonannya menyatakan materi muatan Pasal 29, Pasal 55 Ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan para Pemohon, Majelis Panel Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi A. Mukthie Fadjar menyarankan para Pemohon untuk melengkapi berkas permohonan yang meliputi penjelasan mengenai kewenangan MK terkait dengan diregistrasikannya perkara ini untuk diadili di MK. Selain itu, Hakim Konstitusi Mukthie juga menyarankan para pemohon untuk menegaskan argumentasi kedudukan hukum (legal standing) beserta hak konstitusional yang telah dilanggar dengan berlakunya UU Kepailitan. Majelis Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar juga menyarankan para Pemohon untuk menghadirkan kuasa hukum untuk membantu mereka dalam persidangan dan melengkapi barang bukti. âAnda dapat meminta bantuan lembaga hukum non-profit seperti YLBHI,â sarannya. [Kencana Suluh Hikmah]