Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Pan Mohamad Faiz menerima kunjungan 38 mahasiswa dan 6 dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Magelang pada Selasa (23/1) pagi di Ruang Delegasi Gedung MK.
“Berbicara sejarah judicial review, kita selalu teringat kasus monumental di Amerika Serikat, yaitu Marbury versus Madison pada 1803. Sering dikatakan sebagai kasus pertama judicial review yang kemudian melahirkan sistem judicial review,” ujar Faiz yang menyajikan materi “Kedudukan, Wewenang dan Fungsi MK”.
Namun Faiz mengkritisi bahwa Kasus Marbury vs Madison bukanlah judicial review pertama di dunia. Beberapa abad sebelumnya, sudah dilakukan pengujian undang-undang melalui Bonham Case di Inggris atau dikenal Hayton vs USA. “Kasus Marbury vs Madison adalah kasus pertama judicial review di Amerika Serikat yang membatalkan undang-undang buatan kongres,” imbuh Faiz.
Kasus Marbury vs Madison menginspirasikan pakar hukum tata negara asal Austria, Hans Kelsen melalui Teori Berjenjang untuk membentuk Mahkamah Konstitusi di Austria, yang akhirnya terbentuk pada 1920 sebagai MK pertama di dunia. Walaupun kemudian negara Ceko mengklaim MK Ceko justru merupakan MK pertama di dunia, bukan MK Austria.
“Beberapa bulan sebelum MK Austria terbentuk, MK Ceko sudah lebih dulu ada, tetapi belum berfungsi. Sehingga sejarah mencatat, MK pertama di dunia adalah MK Austria yang menjalankan fungsinya secara optimal,” kata Faiz yang didampingi Basri selaku Dekan FH Universitas Muhammadiyah Magelang.
Lebih lanjut, Faiz menerangkan model judicial review yang terbagi dua, yaitu Decentralised System (American System) dan Centralised System (European System). Dalam Decentralised System (American System), judicial review dapat diputus melalui supreme court maupun pengadilan umum. Sedangkan dalam Centralised System (European System), judicial review dapat diputus melalui lembaga peradilan independen dan terpisah seperti Mahkamah Konstitusi.
Terkait sejarah MK di Indonesia, Faiz menuturkan ide perlu adanya lembaga yang menguji undang-undang dicetuskan Mohammad Yamin saat rapat proses pembentukan UUD 1945. Namun gagasan itu ditolak Soepomo karena belum banyaknya ahli yang menguasai masalah pengujian undang-undang. Alasan lain, Indonesia tidak menganut prinsip Trias Politica. Bertahun-tahun kemudian, setelah melalui sejumlah usulan dan penolakan terhadap judicial review di Indonesia, terbentuklah MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003.
Faiz memaparkan kewenangan MKRI, yaitu memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. MK juga memutus pembubaran partai politik, dan terakhir, MK memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan satu kewajiban MK adalah Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela. Selain itu, dijelaskan fungsi dari Mahkamah Konstitusi, yakni sebagai Pengawal Konstitusi dan Ideologi dan Demokrasi. Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai Pelindung Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak Konstitusional Warganegara, serta sebagai Penafsir Akhir dari Konstitusi.
Putusan MK mengenai LGBT
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa bernama Tony menanyakan putusan MK terkait LGBT yang begitu fenomenal. Misalnya, MK dianggap melegalkan LGBT dan kumpul kebo.
“Padahal, jika kita membaca secara cermat pertimbangan dan amar putusan MK, tak ada satu pun kata LGBT atau kumpul kebo disebutkan di dalamnya. Apalagi perintah untuk melegalkan atau mengizinkannya. MK sebenarnya tidak menolak gagasan pembaruan yang disampaikan oleh para pemohon. MK juga tidak berpendapat bahwa norma hukum pidana yang diujimaterilkan tersebut sudah lengkap. Namun, untuk melengkapi norma kesusilaan tersebut, sepenuhnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang yakni DPR dan Pemerintah melalui kebijakan pidana. Sebab MK hanya merupakan negative legislator yang tidak bisa membentuk undang-undang,” jelas Faiz.
Selain itu, ada pertanyaan mahasiswa mengenai kajian para peneliti asing terhadap MK Republik Indonesia. Faiz menjawab, antara lain ada peneliti Jerman mengukur sejauhmana publikasi media memengaruhi putusan MK. Di samping itu, ada peneliti Australia yang membahas akuntabilitas putusan MK dari 2003-2005. (Nano Tresna Arfana/LA)