Sebanyak 150 orang mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal) disambut oleh Peneliti Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono di Aula Gedung MK, Senin (22/1). Dalam sambutan dari perwakilan Unikal, yakni Dekan Fakultas Hukum Unikal Nurul Huda menyatakan tujuan dari kunjungan tak lain adalah guna semakin memperkuat pemahaman mahasiswa, khususnya dalam memahami penanganan perkara di MK yang sangat erat kaitannya dengan hak konstitusional warga negara. Di samping itu, kunjungan ini tambahnya, dilakukan juga berkaitan dengan program magang mahasiswa.
“Kami pertama-tama mengucapkan terima kasih pada jajaran MK yang telah berkenan menerima kami dalam kegiatan KKL Unikal. Dalam kunjungan ini, kami berharap dapat bekal serta pencerahan terkait dengan isu-isu yang masih muncul di MK seperti masalah penegakan kode etik hakim konstitusi sebagai penegak konstitusi. Selain itu, dalam kunjungan ini kami juga memohonkan terhadap MK mengenai bagaimana mekanisme bagi mahasiswa untuk mengikuti magang,” jelas Nurul Huda.
Dalam pemaparan materi, Fajar membuka pemahaman mahasiswa mengenai putusan-putusan yang telah dihasilkan oleh MK selama berdirinya sejak 2003 hingga saat ini. Fajar memberikan contoh terkait dengan salah satu putusan MK beberapa waktu lalu terkait dengan LGBT, Ia sangat menyayangkan kekeliruan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, menurut Fajar, terjadi karena dalam memahami putusan MK tersebut, masyarakat tidak membaca secara keseluruhan risalah persidangan yang dimulai dari pertimbangan hukum dan pendapat mahkamah. Masyarakat umumnya langsung membaca amar putusan yang hanya berupa rangkuman dari panjangnya pertimbangan hukum mahkamah, lebih parahnya lagi masyarakat banyak yang menerima mentah-mentah pemberitaan media.
“Sebagai contoh adalah kasus LGBT lalu, padahal MK tidak memutus apa-apa terhadap LGBT, dalam perkara pengujian undanag-undang tersebut MK hanya meminta jika Pemohon ingin melakukan perluasan kasus yang berkaitan dengan hukum pidana, MK tidak berwenang untuk memperluas objek, subjek, sanksinya karena pada hakikatnya kriminalisasi dan dekriminalisasi itu adalah wewenang pembentuk undang-undang,” terang Fajar.
Terhadap hal tersebut, Fajar mengajak rekan-rekan dari ranah hukum untuk sama-sama membangun penegakan hukum yang terdiri atas struktur, substansi, dan kultur. "Terkait dengan tegak atau tidaknya hukum di negara ini, kultur hukum adalah bagian yang saat ini masih menjadi PR kita bersama, terutama teman-teman dari fakultas hukum. Bagaimana respons dan respect kita terhadap hukum yang sudah mengatur kita, bahkan kita cenderung tidak menghormati aturan hukum, lalu bagaimana kita akan menegakkan hukum untuk pembangunan bangsa," jelas Fajar pada mahasiswa.
Terhadap perkara yang masuk ke MK, Fajar menyebutkan bahwa masyarakat termasuk mahasiswa fakultas hukum dapat melakukan pengawalan dengan membuka laman www.mahkamahkonstitusi.go.id. Dalam laman tersebut lanjut Fajar, informasi-informasi yang menjadi hak publik dapat dengan mudah diakses sehingga masyarakat bisa mengetahui perkembangan dari pengajuan perkara yang ada di MK.
Dalam pemaparannya, Fajar juga menyatakan Mahkamah Konstitusi adalah objek yang masih seksi untuk diberitakan. Hal tersebut menurut Fajar karena Konstitusi yang sifatnya abstrak membutuhkan teorifikasi yang sangat memungkinkan timbulnya tafsir yang berbeda-beda. Sebagai lembaga negara yang kuat dalam hal menafsirkan dan mengawal konstitusi, permasalahannya sekarang adalah banyak dari tafsir MK tersebut yang tidak diikuti oleh pihak-pihak yang seharusnya menjalankannya. “Persoalan implementasi putusan MK menjadi PR bagi kita, bahkan di Jerman dan negara yg lebih dulu ada MK-nya, dikarenakan tidak ada tutorialnya dan tidak ada sanksi yang menjerat siapa pun bagi yang tidak menjalankan putusan MK, tetapi lebih pada kesadaran hukum saja,” tandas Fajar. (Sri Pujianti/LA)