Mahkamah Konstitusi (MK) menerima 19 mahasiswa jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dan 4 dosen Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Veteran Semarang yang berkunjung ke MK, Kamis (18/1) pagi.
Beragam materi disampaikan Peneliti MK Winda Wijayanti dalam kunjungan tersebut, mulai dari sejarah pengujian undang-undang di Indonesia. Bermula saat Mohammad Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengusulkan Balai Agung perlu diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju karena Undang-Undang Dasar (UUD) yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Alasan lain, kala itu belum banyak sarjana hukum di Indonesia.
Selain itu, Winda menyampaikan mengenai materi kewenangan MK Republik Indonesia yang terbentuk sejak 13 Agustus 2003. Kewenangan utama MK, yaitu memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. MK juga memutus pembubaran partai politik, dan terakhir, MK memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan satu kewajiban MK adalah Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela.
Berikutnya, ada materi mengenai prosedur beracara di MK. Pertama, dilakukan secara langsung. Pemohon datang ke pranata peradilan untuk dicatat dalam bukti registrasi perkara. Kemudian ada formulir check list dan lembar disposisi.
“Juga ada yang dilakukan secara online. Pemohon cukup mengunjungi laman MK. Kemudian ada akses yang namanya ‘simple’. Lalu upload soft copy permohonan, kemudian diberikan tanda terima. Selanjutnya Pemohon tetap harus menyerahkan dokumen tertulis 12 rangkap,” urai Winda Wijayanti.
Lebih lanjut, Winda mengungkapkan rekapitulasi perkara MK yang teregistrasi tahun 2003-2018 melalui website resmi MKRI. Perkara terbanyak adalah pengujian undang-undang sebanyak 1.138 perkara. Kemudian perkara sengketa kewenangan lembaga negara sebanyak 25 perkara. Lalu untuk Perkara Hasil Perselisihan Legislatif dan Pilpres sebanyak 71 perkara dengan 657 kasus. Sedangkan untuk Pilkada sebanyak 910 perkara. Winda juga menyampaikan informasi undang-undang yang batal secara keseluruhan sepanjang 2003 sampai 2016, di antaranya UU Ketenagalistrikan, UU Tindak Pidana Terorisme, UU Badan Hukum Pendidikan, UU Koperasi, UU Mahkamah Konstitusi, dan UU Sumber Daya Air.
“Undang-undang batal secara keseluruhan berimplikasi bahwa undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan. Sehingga untuk mencegah kekosongan hukum, maka undang-undang lama dinyatakan berlaku kembali sampai pembentuk undang-undang mengesahkan undang-undang yang baru,” jelas Winda.
Usai menyampaikan materi, ada sesi tanya jawab. Misalnya, ada mahasiswa yang menanyakan dasar hukum dari kewenangan MK. Mengenai kewenangan MK Republik Indonesia diberikan langsung oleh Konstitusi yaitu Pasal 24C UUD 1945 yang menyebutkan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, dan seterusnya.
“Dalam hal ini MK hanya sebagai negative legislator, bukan sebagai positive legislator. Bahwa MK tidak bisa membuat suatu norma hukum yang baru, hanya untuk membatalkan undang-undang dan menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat apabila bertentangan dengan Konstitusi,” ujar Winda. (Nano Tresna Arfana/LA)