Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar pendidikan dan pelatihan (Diklat) bagi 49 CPNS Golongan III, Kamis (18/1). Kegiatan yang direncanakan akan diadakan selama sebulan tersebut berlangsung di Pusdiklat Tekfunghan Badiklat, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Salemba.
Pada hari perdana diklat, Sekjen MK M. Guntur Hamzah berpesan supaya peserta mengikuti diklat dengan serius dan seksama. “Semua materi harus dipahami dengan betul dan dipahami hakikat filosofisnya. Ini momen menggali ilmu secara mendalam,” jelasnya.
Guntur menegaskan lembaga peradilan seperti MK penuh dengan kaidah dan rambu-rambu. Hal ini membuat peserta mesti beradaptasi dengan cara menjaga sikap dan perilaku paska mulai bekerja nanti. “Ini berkaitan dengan bersikap baik serta menjaga integritas diri masing-masing. Yakni menjadi abdi negara yang professional dan berdedikasi,” pesannya lebih lanjut.
Guntur pun memaparkan mengenai MK dalam konteks ketatanegaraan. Ia menyinggung sejarah ketatanegaraan di Inggris. Kala itu, ada adagium terkenal bahwa raja tidak pernah salah. Hal tersebut, lanjutnya, sebagai turunan makna bahwa raja adalah wakil Tuhan di dunia. Selain itu, raja Inggris juga memegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsekuensi ini menyebabkan aturan atau hukum disana menjadi absolut ciptaan raja. Tidak ada yang dapat mengkoreksi aturan yang telah dibuat. Keadaan inilah yang menyebabkan tokoh hukum Inggris Sir Edward Cook berpikir supaya ada mekanisme mengoreksi produk undang-undang. Inilah cikal bakal adanya proses judicial review bagi suatu undang-undang. “Meski demikian, wacana MK atau lembaga yang dapat melakukan judicial review hingga kini tidak pernah terwujud di Inggris. Hingga sekarang Inggris tidak memiliki lembaga sejenis,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, MK pertama di dunia justru berdiri di Austria tahun 1920. Ada pula MK di Cekoslovakia berdiri lebih dahulu , namun pendapat mayoritas menganggap MK pertama adalah Austria. Alasannya, lanjut Guntur, MK Cekoslovakia tidak aktif secara lembaga karena kelompok komunis berkuasa di negara itu.
Guntur menerangkan adapun wacana lembaga sejenis MK di Indonesia telah ada saat zaman awal kemerdekaan. Ide tersebut dicetuskan Muhammad Yamin dengan ide pembentukan Balai Agung yang bertugas mengoreksi dan dapat membatalkan suatu undang-undang. “Ide tersebut akhirnya ditolak Soepomo. Alasannya Indonesia belum banyak memiliki sarjana hukum mumpuni kala itu,” jelasnya.
Setelah masa reformasi, kata Guntur, akhirnya MK Republik Indonesia terbentuk melalui amendemen ketiga UUD 1945. Ia menjelaskan bahwa MK memiliki sembilan hakim yang dipilih oleh Mahkamah Agung (MA), Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Setiap lembaga berhak memilih dan mengusulkan tiga hakim,” ujarnya.
MK, jelas Guntur, memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasar UUD 1945. Kewenangan MK, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden. (ARS/LA)