Adanya tindakan pencabutan status terhadap organisasi masyarakat (ormas) memberikan pengaruh bagi kebebasan warga negara. Tak hanya itu, sanksi administratif yang dijatuhi pada ormas tersebut menunjukkan hilangnya identitas sebagai negara yang menganut paham demokrasi yang berdasarkan pada hukum.
Hal tersebut disampaikan Fatkhul Muin selaku Ahli yang dihadirkan Pemohon dalam pengujian undang-undang Pasal 80A UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang (UU Ormas), Kamis (18/1). Sidang lanjutan dari perkara Nomor 94/PUU-XV/2017 yang dimohonkan oleh Muhammad Hafidz dan Abda Khair Mufti ini, dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Fatkhul yang hadir sebagai Ahli Pemohon menyebut negara memiliki hak untuk menjatuhkan sanksi administratif, selama aturan tersebut tidak bertentangan dengan falsafah bangsa. Namun demikian, proses tersebut harus tetap melalui proses peradilan sebelum melakukan pencabutan atau pembubaran. Oleh karena itu, lanjutnya, dalam negara hukum, Pemerintah harus melalui proses peradilan administrasi sebagai dasar pembubarannya yang dianggap bertentanagn dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai upaya melindungi hak konstituional warga negara dalam hak berserikat dan berkumpul.
“Kesimpulannya adalah sebagai negara demokrasi atas hukum, maka nilai-nilai dalam HAM harus dijunjung tinggi dalam pelaksanaan pemerintahan negara. negara hadir dalam melindungi hak warga negara dan pembubaran ormas harus melalui peradilan untuk memenuhi keadilan dan hak konstitusional warga dalam berserikat,” jelas Fatkhul.
Dalam makalah berjudul “Kebebasan Berserikat dalam Paham Negara Demokrasi: Suatu Tinjauan terhadap Organisasi Masyarakat Indonesia,” Fatkhul menyebutkan paham negara kebangsaan, demokrasi, kesejahteraan dalam hukum merupakan ciri negara yang berdaulat dan negara yang menjaga hak setiap warga negaranya. Dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, maka bangsa Indonesia sudah mengambil sikap untuk menentukan nasib bangsanya dalam segala bidang.
Setelah masuk fase reformasi, lanjut Fatkhul, kebebasan terhadap kehidupan berdemokrasidibuat pemerintah menjadi lebih bebas sehingga muncul organisasi-organisasi masyarakat yang kepengurusannya ada dari pusat hingga daerah-daerah. Dengan perkembangan hal ini, menurutnya, Pemerintah perlu melakukan pengawasan sehingga organisasi masyarakat tersebut dapat tetap berpegang pada pancasila dan UUD 1945.
“Oleh karena itu, peran Pemerintah diperlukan untuk eksistensi kebebasan berserikat dan berkumpul organisasi masyarakat ini sehingga Indonesia sebagai pemerintahan yang demokrasi harus melindungi kebebasan ini dengan tidak membungkamnya dengan berbagai perundang-undangan,” terang Fatkhul.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Arief menyampaikan agenda persidangan berikutnya akan diadakan pada Rabu, 24 Januari 2018 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemerintah.
Dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan sebagai aktivis pekerja yang selama ini aktif memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja indonesia, baik secara bersama-sama dalam serikat pekerja ataupun secara individu merasa berkepentingan atas pemberlakuan UU Ormas ini. Para Pemohon juga hendak membentuk Ormas yang mempunyai kepedulian terhadap nasib masyarakat usia produktif yang belum mendapatkan pekerjaan dalam rangka memperjuangkan haknya secara kolektif sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (2) UUD 1945.Menurut para Pemohon, pada 24 Oktober 2017 DPR telah menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Republik Indonesia tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang. Dalam UU Ormas tersebut memuat ketentuan Pasal 80A yang berbunyi, “Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.”
Di samping itu, para Pemohon pun menilai ketentuan Pasal 80A UU Ormas tersebut berkaitan pula dengan pencabutan badan hukum ormas dengan pembubaran tanpa melalui proses pengadilan (process due of law). Hal ini menurut para Pemohon telah mengesampingkan hukum sebagai asas negara Indonesia dan bertolak belakang dengan asas menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. Atas dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Sri Pujianti/LA)