Akibat berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) telah terjadi eksklusi, diskriminasi, dan penelantaran atas agama minoritas. Hal ini disampaikan oleh Agus Sudibyo selaku Ahli Pihak Terkait dalam sidang uji materiil UU Penodaan Agama yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah. Sidang kesebelas Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (17/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya sebagai Ahli yang dihadirkan Komnas Perempuan, Agus menyebut meski UU Penodaan Agama tidak dimaksudkan untuk mengeksklusi atau menelantarkan kelompok minoritas, namun fakta menunjukkan terdapat dampak yang timbul dari pemberlakuan UU tersebut.
“Peraturan tersebut berdampak pada peniadaan atau pembatasan hak konstitusional warga minoritas yang terkait dengan hak untuk beragama dan menjalankan kepercayaan masing-masing, hak untuk terbebas dari kekerasan dan ketakutan, hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, hak atas perlindungan pribadi dan keluarga, hak untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif, dan lain-lain,” terang Ketua Presidium Jaringan Wartawan Anti-Hoax (JAWAH) tersebut.
Menurut Agus, peninjauan kembali UU Penodaan Agama melalui judicial review seperti yang dilakukan para Pemohon, merupakan langkah penting untuk merehabilitasi hak dan rasa keadilan warga minoritas yang telah terdampak oleh pemberlakuan undang-undang tersebut. Peninjauan kembali, lanjutnya, juga mendesak untuk menginklusi kembali posisi kelompok minoritas sebagai bagian dari warga negara Indonesia tanpa hierarki dan diskriminasi.
Permohonan para Pemohon juga dinilai Agus penting untuk menjaga legitimasi demokrasi atau legitimasi kemampuan pemerintah dalam menjalankan demokrasi. Ia menerangkan pembiaran pelanggaran atas hak-hak konstitusional warga minoritas seperti yang dialami penganut Ahmadiyah merupakan sebuah pengakuan bahwa negara tidak berhasil menjalankan demokrasi dengan baik.
“Maka setiap tendensi pembiaran pelanggaran atas hak-hak tersebut sesungguhnya melahirkan efek delegitimatif terhadap demokrasi dan kemampuan negara dalam menjalankan demokrasi. Kelompok minoritas seperti Ahmadiyah rentan mengalami diskriminasi dalam pelayanan publik,” tegasnya.
Tidak Sejalan UUD 1945
Sementara itu, Ahli Pihak Terkait lainnya, yakni Muktiono menyebut UU Penodaan Agama tidak sejalan dengan maksud dan arti dari Ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang membolehkan agama sebagai dasar atau alasan untuk membentuk hukum sebagai instrumen pembatasan suatu hak. Menurut Muktiono, ajaran agama yang dijadikan dasar atau sumber acuan bagi pengaturan pembatasan harusnya bersifat inklusif atau terbuka. Hal ini agar aturan tersebut dapat secara adil mengakomodasi nilai atau ajaran agama dari komunitas agama yang beragam dan tidak bias relasi kuasa atau power relations.
“Pada kenyataannya, UU P3A (UU Penodaan Agama) dengan kategorisasi agama dan politik hukum pengakuan resmi negara, dengan sendirinya mempunyai karakter yang eksklusif yang berakibat pada terpinggirkannya prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Konstitusi (UUD 1945),” paparnya.
Sebelumnya, para Pemohon yang merupakan penganut Ahmadiyah mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut Para Pemohon, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan Para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.
Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri. Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran Para Pemohon dari lokasi tempat tinggal. Untuk itu, Para Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum. (Lulu Anjarsari)