Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (15/1). Agenda sidang adalah pemeriksaan pendahuluan. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 1/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang diwakili oleh Kepala Eksekutif LPS, Fauzi Ichzan.
Pemohon menguji Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 81 ayat (3) serta Pasal 33 ayat (4) UU LPS. Pasal 6 ayat (1) huruf c menyebutkan, ”Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut: melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.” Sedangkan Pasal 81 ayat (3) berbunyi, ”LPS bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan semua asetnya.”
Kuasa hukum Pemohon, Irman Putra Sidin menjelaskan, pasal-pasal tersebut dinilai Pemohon tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) tentang perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, terutama efisiensi berkeadilan.
“Bahwa seperti diketahui bahwa LPS adalah sebuah lembaga yang hadir untuk menjaga stabilitas sistem perbankan, menjamin nasabah-nasabah perbankan, dimana susah dihindari sebagai badan-badan usaha, sebagai badan usaha LPS itu akan bersinggungan dengan piutang dalam aset berupa piutang,” urai Irman.
Menurut Pemohon, LPS tidak bisa menolak pembayaran dari aset Bank Dalam Likuidasi (BDL) yang berupa piutang. Sebab jika menolak, LPS akan mengalami kerugian. Piutang tersebut menjadikan tetap hidupnya piutang lama beserta dengan bunga dan denda, apabila tidak dibayarkan dalam batas waktu tertentu. Karena hal ini akan mengakibatkan piutang menjadi bertambah dari nilai pokok dan bunga serta denda.
LPS mempunyai kewenangan melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap debitur bank sistemik dalam kondisi krisis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Sementara terhadap debitur bank nonsistemik tidak disebutkan kewenangan untuk hapus buku dan hapus tagih secara eksplisit dalam UU LPS, terutama Pasal 6 ayat (1) huruf c danPasal 81 ayat (3) UU LPS.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati substansi permohonan. Ia meminta agar Pemohon mempertimbangkan pihak lain yang mungkin terkait dengan permohonan ini.
“Substansi yang menurut saya, cukup menarik terlepas nanti bagaimana sikap Mahkamah. Menurut saya, apa yang diinginkan Pemohon cukup realistis bahwa ini akan bisa segera memberikan kepastian hukum. Hanya persoalannya, kemudian yang muncul adalah apakah ada kepentingan-kepentingan pihak ketiga yang dalam hal ini pihak ketiga yang bersangkut-paut dengan BDL-BDL itu apakah kemudian bisa serta-merta terabaikan?” tanya Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengomentari hal terkait UU PPKSK. “Terima kasih, Yang Mulia. Saya hanya sedikit saja menambahkan. Bahwa tadi disinggung dalam permohonan ini ada peraturan tentang hal hapus buku, hapus tagih ini dalam bank sistemik yang diatur dalam Undang-Undang PPKSK dan itu menjadi suatu rujukan. Namun di halaman 9, penulisan ini barangkali mungkin perlu dilengkapi karena sebelumnya belum pernah saya lihat UU PPKSK ini sebelumnya,” kata Manahan. (Nano Tresna Arfana/LA)