Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan terhadap perkara Nomor 4/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Sutarjo yang berprofesi sebagai Advokat, Senin (15/1). Melalui kuasa hukum Muhammad Sholeh, Pemohon melakukan pengujian Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo, Sholeh menyampaikan pasal a quo merugikan hak konstitusional Pemohon. Pasal 20 ayat (1) berbunyi “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik seagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.” Adapun Pasal 20 ayat (2) berbunyi “Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.”
Sholeh menjelaskan bahwa Pemohon adalah kuasa hukum dari seseorang bernama Khoyanah yang mengalami perkara sengketa jual beli tanah di daerah Kabupaten Gresik. Dalam hal ini Pemohon dipanggil sebagai saksi, lalu status tersebut berubah menjadi tersangka, bahkan Pemohon kemudian ditahan oleh Penyidik dengan Surat Perintah Penyidik Nomor SP.Gas/2104/XI/2015/Direskrimun tanggal 30 November 2015 dan Surat Perintah Penahanan Nomor SP.Han/02/I/2016/Ditreskrimun, Direskrimun Polda Jawa Timur tanggal 16 Januari 2016.
Terhadap penahanan yang dilakukan Penyidik Polda Jawa Timur, Pemohon menilai hal tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya karena sebagai advokat yang mempunyai hak imunitas dalam menjalankan profesinya, baik dalam persidangan maupun di luar persidangan dalam rangka pembelaan klien. Pemohon berpendapat seharusnya ia mendapatkan hak tersebut. Bahkan dalam kaitan dengan penangkapan Pemohon, pihaknya telah melakukan pengajuan gugatan praperadilan, namun Pemohon kalah. Akibatnya, Pemohon menilai ketentuan Pasal 82 ayat (1) KUHAP yang juga dinilai bertalian dan berpotensi merugikan hak konstitusionalnya. Dengan demikian, Sholeh menyebutkan bahwa Pemohon telah memenuhi kualifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK.
Selanjutnya, Sholeh menjabarkan terkait dengan pasal yang diujikan saat ini pernah diujikan sebelumnya di MK, namun permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 94/PUU-XIV/2016 tersebut tidak dapat diterima karena Pemohon tidak memiliki legal standing. “Itu artinya dalam perkara yang lalu tersebut, MK belum pernah melakukan pengujian materi muatan pasal a quo yang sekarang diujikan Pemohon. Jadi, wajar kiranya jika perkara a quo bukanlah kategori nebis in idem,” jelas Sholeh.
Terhadap penahanan Pemohon, Sholeh memberikan pandangan bahwa seorang tersangka atau terdakwa yang ditangkap atau ditahan seolah-olah berada dalam suatu ruang gelap dan tidak berdaya sama sekali. Pada hakikatnya, hal tersebut sama dengan menghilangkan kemerdekaan seseorang. Artinya, menurut Sholeh, jika seorang terdakwa yang sebelumnya ditahan oleh penyidik atau JPU dan diputus oleh hakim bersalah, maka putusan tersebut hanya menguatkan tindakan penyidik maupun JPU. “Artinya hakim hanya menjadi tukang stempel terhadap tindakan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik maupun JPU,” terang Sholeh.
Sholeh menambahkan pembentuk UU dinilai berlaku tidak adil. Di satu sisi, Penyidik diberikan kewenangan melakukan penyitaan barang, namun kewenangan a quo mendapatkan persetujuan pengadilan sebagai sarana kontrol. Sedangkan menurut Pemohon, kewenangan penahanan adalah mutlak milik hakim, bukan Penyidik maupun JPU. Sebab menurut Pemohon, hakim yang berwenang atas nama keadilan bisa merampas kemerdekaan seseorang terdangka atau terdakwa. “Jadi, pasal a quo mengandung ketidakpastian hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tegas Sholeh.
Meskipun permohonan ini diajukan untuk kepentingan Pemohon, Sholeh menyampaikan jika permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah, maka ketentuan pasal a quo berlaku untuk umum sehingga penyidik dan JPU tidak berwenang melakukan penahanan tersangka. Di samping itu, menurut Pemohon ketentuan a quo juga berlaku pada Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Nasihat Hakim
Berdasarkan penjelasan kuasa hukum Pemohon, Maria memberikan nasihat terkait dengan pasal yang diujikan. Maria melihat dalam permohonan Pemohon lebih banyak menjelaskan kasus konkret yang dialami dengan dikaitkan dengan pasal-pasal yang ada pada KUHAP. Untuk itu, Maria meminta agar Pemohon kembali menelaah apabila perkara ini dikabulkan akan berdampak pada perubahan KUHAP yang sangat luas. “Itu rancangan KUHAP. Pasal a quo ini tidak berdiri sendiri dan mengacu pada Pasal 11 UU KUHAP. Jadi, kalau menghilangkan sangat erat kaitannya dengan pasal-pasal lainnya. Dampaknya tak hanya pasal itu saja,” jelas Maria.
Senada dengan hal tersebut, Palguna juga melihat hal yang serupa bahwa ketika pasal ini dianggap bertentangan, maka hal ini akan membongkar bangunan KUHAP. “Sekarang ketika Anda bayangkan berangkat dari kasus konkret, apa yang kira-kira akan terjadi dengan dunia peradilan ini? Apakah konstruksi tentang Perpu itu sudah dipikirkan karena nanti tugas presiden buat Perppu saja?” tanya Palguna.
Pada akhir persidangan, Majelis memberikan waktu hingga Senin, 29 Januari 2018 pukul 10.00 WIB pada Pemohon untuk menyempurnakan permohonannya. (Sri Pujianti/LA)