Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), Senin (15/1). Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XVI/2018 mempermasalahkan tentang kewajiban membayar pajak bumi bangunan yang dinilai memberatkan para Pemohon.
Dalam perkara ini, terdapat empat Pemohon, yakni Jestin Justian (Pemohon I) dan Ezra Prayoga Manihuruk (Pemohon II) yang berstatus sebagai mahasiswa; Agus Prayogo (Pemohon III) yang berprofesi sebagai karyawan swasta, serta pensiunan Nur Hasan (Pemohon IV). Saat sidang pendahuluan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut, hanya Jestin dan Hasan yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum.
Dalam permohonannya, Jestin menyatakan para Pemohon merupakan orang-orang yang kesulitan dalam membayar pajak bumi bangunan. Ia mengalami kerugian konstitusional, yakni tidak dapat memiliki satu bidang tanah karena kewajiban membayar PBB. Pihaknya tidak memiliki uang karena masih berstatus mahasiswa. Sedangkan Pemohon II terkena denda membayar uang kuliah karena uangnya digunakan orangtuanya untuk membayar PBB.
“Untuk Pemohon III dan IV tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar PBB. Pemohon III menunggak membayar PBB sehingga rumahnya hampir dijual untuk membiayai utang PBB. Adapun Pemohon IV sudah pensiun bekerja hingga sulit membayar PBB,” jelas Jestin dalam sidang pendahuluan tersebut.
Menurut para Pemohon, pasal a quo bertentangan dengan frasa “bertempat tinggal” seperti yang tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dari sini, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Wahiduddin menyatakan bagian pendahuluan permohonan masih kurang jelas dan bersifat sumir. Selain itu, ia meminta bagian kerugian konstitusional agar lebih dipertajam karena alasannya masih dangkal.
“Bagian petitum juga diperbaiki karena ada permintaan Pemohon menambahkan norma baru. Padahal MK tidak dapat membuat norma baru yang menjadi kewenangan pemerintah bersama DPR,” jelasnya.
Sementara Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna meminta agar Pemohon lainnya hadir dalam persidangan. Menurutnya, konsekuensi tidak memakai kuasa hukum, artinya Pemohon mesti hadir terus dalam setiap sidang. “Jika tidak dilakukan akan dianggap permohonan yang diajukan tidaklah serius,” tegasnya. (ARS/LA)