Perppu Ormas yang disahkan menjadi undang-undang dinilai perlu untuk menjamin kebebasan berkumpul yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, negara harus bisa mengatur kebebasan individu dan kolektif warga negara dengan pertimbangan moral untuk menjaga NKRI dan etika ormas yang berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat.
Demikian disampaikan Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pujianto dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 80A UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang (UU Ormas), Rabu(10/1). Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 94/PUU-XV/2017 ini dimohonkan oleh Muhammad Hafidz dan Abda Khair Mufti.
Dalam pemaparannya, Widodo menyebut UU Ormas disahkan dalam rangka sebagai perlindungan dan penegakan hukum terhadap kegiatan, perilaku, atau aspirasi sebuah organisasi masyarakat yang dapat menimbulkan atau potensial menimbulkan ujaran kebencian yang dapat berakibat pada chaos yang sulit diatasi aparat keamanan. “Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan UU a quo yang bertujuan dalam rangka melindungi kedaulatan RI berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,” urai Widodo di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Kemudian, Widodo melanjutkan bahwa UU Ormas merupakan bagian tanggung jawab negara untuk menciptakan hukum sesuai karakteristik negara dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Maka negara dapat membuat hukum guna mengantisipasi berkembangnya paham yang bertentangan dan Pancasila dan UUD 1945 termasuk dari ormas yang dapat saja berdampak pada disintegrasi bangsa.
Selain itu, UU Ormas dibentuk guna menjamin hak kebebasan berserikat dan berkumpul warga negara sesuai UUD 1945. Eksistensi Ormas, lanjut Widodo, salah satunya merupakan perwujudan kesadaran kolektif warga negara dalam pembangunan dan harus dikelola sehingga tetap menjadi energi positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. “Untuk itu, negara berkewajiban mengakui keberadaannnya dan menjamin keberlangsungan hidup ormas,” ujar Widodo.
Terhadap dalil Pemohon yang menilai pemberian kewenangan pembubaran ormas melewati batas wewenang Pemerintah, maka Pemerintah berpendapat UU a quo telah sejalan dengan UU Administrasi. Di samping itu, Widodo menegaskan pembubaran ormas merupakan bagian dari penegakan hukum dan upaya Pemerintah memberikan perlindungan hukum kepada warga negara.
“Dengan demikian Pemerintah berwenang mencabut keberadaan ormas dan dalam mekanisme pemberian sanksi telah melalui tahapan sesuai dengan aturan hukum serta ormas yang dijatuhi sanksi pun tetap dapat mengajukan gugatan pada pengadilan tata usaha,” terang Widodo.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Arief Hidayat menyampaikan bahwa persidangan selanjutnya akan digelar pada Kamis, 18 Januari 2018 dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon.
Dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan sebagai aktivis pekerja yang selama ini aktif memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja indonesia, baik secara bersama-sama dalam serikat pekerja ataupun secara individu merasa berkepentingan atas pemberlakuan UU Ormas ini. Para Pemohon juga hendak membentuk ormas yang mempunyai kepedulian terhadap nasib masyarakat usia produktif yang belum mendapatkan pekerjaan dalam rangka memperjuangkan haknya secara kolektif sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (2) UUD 1945. Di samping itu, para Pemohon pun menilai ketentuan Pasal 80A UU Ormas tersebut berkaitan pula dengan pencabutan badan hukum ormas dengan pembubaran tanpa melalui proses pengadilan (process due of law). Hal ini menurut para Pemohon telah mengesampingkan hukum sebagai asas negara Indonesia dan bertolak belakang dengan asas menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. (Sri Pujianti/LA)